"Jika anda sedang benar, jangan terlalu berani dan bila anda sedang takut, jangan terlalu takut. Karena keseimbangan sikap adalah penentu ketepatan perjalanan kesuksesan anda." -Mario Teguh-
Aku teringat beberapa tahun lalu. Saat itu, aku memutuskan untuk mengawas ujian pagi hari pukul 8 itu. Kebetulan aku sudah tidak ada kuliah lagi dan sedang menyelesaikan tugas akhirku, dan bergabung sebagai asisten di salah satu laboratorium riset di kampusku membuatku dapat mengajukan diri sebagai pengawas ujian semester itu.
Dan akupun masuk dalam ruang kelas itu sambil membaca nama mata kuliah, tertulis Sistem Komunikasi. Menurut kabar burung, ini salah satu mata kuliah yang ditakuti. Aku tak tau pasti mengenai hal ini, karena ini bukan mata kuliah bidang studiku. Sekitar 30 mahasiswa tingkat 2 dengan wajah khawatir sudah menunggu di depan pintu dan didalam kelas. Kebetulan beberapanya aku kenal, tapi seperti biasa aku memutuskan untuk tetap menjalankan tugasku dengan baik : mengawas ujian.
Aku teringat ucapan salah satu dosen yang sangat kukagumi, beliau adalah dosen luar biasa dan waktu itu mengajarkanku mata kuliah yang kemudian menjadi favoritku : Struktur Data. Beliau berkata,"klo menjadi asisten, jadilah asisten yang baik, niatkan untuk membagi ilmu, bukan dengan anggapan mengajarkan orang yang lebih bodoh atau mengerjai. Saya salah satu korban dari asisten yang tidak kompeten semasa kuliah, dan sampai saat ini saya tidak suka melihat asisten yang arogan". Aku juga teringat kejadian dari sikap asisten arogan ini, saat itu beberapa kawanku yang baru mengikuti ujian bercerita, bahwa asisten yang mengawas mereka "mengerjai" mereka. Mengerjai, karena saat itu ia berkata di depan seluruh peserta ujian itu, "ok, silahkan menyontek atau liat buku, saya ga akan liat atau lapor". Dan, sontak saja, hampir dipastikan kebanyakan 50 orang di ruang itu akan melakukan kesempatan itu. Dan ternyata, si asisten ini lalu mencatat dan melaporkan semua yang menerima undangan yang dia buat sendiri.
Aku sesali kejadian ini, karena dilakukan oleh seorang asisten dan katanya juga aktivis mahasiwa. Jika memang ia bertugas mengawas ujian yang salah satu tugasnya adalah mencegah seorang untuk berbuat curan, mengapa ia mengundang untuk melakukan itu ? Karena menjadi asisten pengawas ujian tidak sama dengan seorang polisi yang menyamar untuk menangkap pengedar narkoba dengan berpura – pura menjadi pembelinya. Mahasiwa didepan sana bukanlah pelaku kecurangan, tapi difasilitasi untuk melakukan kecurangan. Saat itu aku berharap menjadi salah satu mahasiswa dalam ruang itu, karena jika aku berada dalam posisi itu hampir dipastikan akan kuusahakan asisten bajingan ini ikut serta menerima konsekwensi tindakannya bersama mahasiwa yang menjadi korbannya itu.
Dan saat ini, melihat ketegangan dalam ruang ujian ini, aku memutuskan untuk tidak akan menjadi bagian dari penyebab yang penambah ketegangan kawan - kawan ini menghadapi ujian. Aku melihat syarat ujian nya : tertera close book. cukup jelas. Aku lalu teringat lagi ketidak sukaanku atas buruknya sikap asisten pengawas ujian ketika melaksanakan tugasnya, beberapanya sering kali kulihat berlaku arogan, yang malah menambah kekhwatiran ketika menghadapi ujian dan terkadang mengganggu konsenstrasi. Padahal dengan bersikap biasa saja dan tidak berlebihan, sudah cukup, jika ada yang mencontek bisa ditegur, atau jika tidak mempan keluarkan dari ruangan dan laporkan, apa sulitnya ?
Kembali ketengah ruang ujian ini, seperti biasa hal yang dilakukan pengawas ujian : membagi posisi tempat duduk dan aku menulis dipapan : Close Book, Open Mind dan limit waktu ujian .. sontak terdengar gumaman kekecewaan sambil tersenyum geli dibelakangku dan lalu aku berkata kira - kira begini : "baik, sifat ujian kita close book, silahkan semua barang kecuali alat tulis dan nomor ujian letakkan ke depan. sebelum memulai ujian ini, ada baiknya kita berdoa semoga kawan - kawan diberikan kemudahan." Dan kamipun berdoa. Sesaat setelah kawan - kawan ini mulai mengerjakan ujian, aku mulai bersiap mengambil absen. Tidak ada niat apapun dari tulisan Close book, Open Mind itu selain sambil memberi tau sifat ujian tapi juga mengurangi ketegangan dalam ruangan ini. Tidak ada yang salah dan yang dilanggar dari tulisan itu.
Tapi lalu seorang bapak masuk ke ruang itu, saat itu aku sedang mengambil absen peserta ujian, dan lalu ia berkata dengan intonasi tinggi, "siapa pengawasnya ? anda ?" sambil menatapku. "Ya saya pak", jawabku sambil menghampiri beliau. Bapak ini yang tanpa mengenalkan diri aku tau pasti adalah dosen matakuliah yang kuawasi ini. Ia lalu tiba – tiba membentakku didepan sekitar 30 mahasiswa yang sedang mengerjakan soal - soal ujian itu. Energi yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan untuk sebuah pertanyaan "Apa maksudnya Open Mind ?!? Ini ujian bukan main - main, klo Close book ya close book."
Saat itu, dalam perasaan dipermalukan dan diinjak harga diri, otak kolerik - melankolik ku sontak memberi 2 pilihan untuk diambil saat itu juga, membalas permalukan dengan mengajaknya berdebat atau tidak meladeni semburan horman kemarahan dalam darahku.
Sejenak, aku terlempar pada saat - saat beberapa tahun yang lampau dalam hidupku, ketika aku dan kakakku bermain di halaman luas sebuah kampus di sudut kota dili, lahane barat. Saat itu, ayahku berkerja di Sekolah Perawat Kesehatan Dilli, saat itu Timor - Timur. Aku teringat langkah kecilku ketika memasuki ruang saat ayahku sedang bekerja, mengetok pintunya, tubuhku bahkan tak sampai sepinggang ayahku dan aku bahkan belum masuk sekolah, tapi aku tau pekerjaan ayahku dan apa artinya itu, ayahku seorang guru. Aku berlari berkejar- kejaran dengan kakakku dan menghampur ke ke pelukan beliau, di depan kelas itu, disaksikan oleh sekitar 50 orang siswa ayahku : tante dan om calon perawat, untuk membisikan sebuah permintaan, "papa, minta air minumnya ya". Ayahku saat itu selalu mengambilkan gelas air putih nya, lalu membisikan sesuatu pada kami, "sekarang main di luar ya nak, papa lagi mengajar. hati - hati jangan main di jalan ya"
Aku juga teringat ketika baru tiba dibandung, duduk dengan ayahku, sesaat setelah aku membaca koran yang daftar nama didalamnya menyatakan aku tidak lolos ujian masuk di salah satu Institut Terkemuka di Bandung ini. Saat itu, ayahku menanyakan keyakinanku untuk keputusan yang sudah kubuat beberapa saat lalu, "bagaimana ? adek sudah yakin dengan pilihan ini ?" Ya, saat itu aku menyakinkan diri, untuk mengambil konsekwensi dari kombinasi keputusanku, aku menerima salah satu kesempatan berharga dalam hidupku : mengambil undangan masuk tanpa tes sebagai mahasiwa program diploma di almamaterku saat ini.
Setelahnya, adalah pertama kali aku memasuki kampus itu, berkeliling terkesima melihat megah gedungnya, dan ayahku berpesan : "adek, syukuri kesempatan ini, kuliah yang benar, selesaikan pendidikan adek dan satu yang paling penting, jangan pernah melawan dosen ya nak. Berdebat boleh, tapi jangan dilawan. Memang ga ada manusia yang sempurna, tapi tidak selamanya kebenaran itu harus dipaksakan. Mundur saja dan bersabar ya, karena mulai saat ini adek hadapi segala sesuatu dan konsekwensi tindakan adek sendiri, karena papa jauh dan ga mungkin selalu bisa menolong adek klo adek bermasalah. Ingat itu ya nak."
Dan saat ini, aku sedang berdiri di depan kelas ini, pagi ini, dengan niat menjadi pengawas ujian. Saat itu, aku mahasiwa tingkat akhir, berkutat dengan kode - kode program sembari berharap dapat lulus secepatnya. Di depanku berdiri seorang dosen, yang dari perawakannya kupastikan sudah cukup tua, dengan rambut dan jenggot putihnya, yang baru saja berberapa detik yang lalu mempermalukanku didepan sekitar 30 mahasiswa tingkat 2. Pikiranku mengingat nama mata kuliah yang sedang aku awasi ini, Sistem Komunikasi, xxx SKS berikut kode mata kuliahnya. Dan sosok yang berdiri didepanku ini adalah dosen yang mengajarkanya.
Saat ini, aku ingin mengatakan pada beliau ini dengan nada yang juga sama tingginya mengikuti intonasi kata - kata yang tadi ia sampaikan padaku : "Bapak, bukan berarti sebagai pengawas ujian yang dibayar 15 ribu oleh kampus ini, bapak berhak mempermalukan saya didepan mahasiswa bapak !!". Jika aku tidak berpikir, mungkin itulah tindakan setimpal yang bisa kuambil saat itu. Bagaimana tidak, dari kalkulasiku, aku tidak sedang melakukan hal yang salah, semua prosedur dan aturan yang ada sudah kulakukan. Menuliskan kata "Open Mind" tidak melanggar satupun dari itu semua.
Dalam otakku, pilihan pertama : jika aku mengalah, kupikir saat itu pasti harga diriku jatuh dan aku tidak akan dihargai sebagai pengawas ujian ini yang membuat aku tidak maksimal dalam menjalankan tugasku, dan yang paling aku takutkan aku tak akan dihargai lagi sebagai manusia. Dan pilihan kedua : jia aku mengajak dosen ini berdebat di depan kelas ini, disaksikan oleh seluruh 30 orang mahasiwanya itu, aku mungkin bisa membuat harga dirinya jatuh untuk membalas tindakanya yang tilah mempermalukanku.
Dipastikan jika aku mengambil pilihan kedua ini, sesi perdebatan ini tidak akan selesai sampai disini saja, tapi akan membawa kami hingga komisi disipliner kampus atau pihak yang lebih berwenang untuk hal ini. Dan aku tidak takut, saat itu aku yakin, bahwa aku tidak salah dan toh aku mahasiwa tingkat akhir dan dosen ini bukan dosen di jurusanku, setidaknya ia tidak akan mengajarku atau mengujiku di sidang tugas akhir nanti. Begitulah kalkulasi pikiran arogan ku saat itu.
Sisi logikaku pun saat itu dijungkir balikan, bagaimana mungkin orang yang mengajarkan tentang ilmu dan teknologi untuk berkomunikasi, yang menjadi dasar bagi satelit untuk bekerja yang membuat orang bisa mengetahui posisinya dimuka bumi ini saat ia ditengah lautan hutan belantara, yang menjadi dasar adanya teknologi komunikasi bergerak yang membuat umat manusia dengna mudahnya bisa mengakses pesbuk dimana saja kapan saja saat ini,, bagaimana mungkin orang yang mengajarkan kerumitan semua kalkulasi rumus - rumus untuk membuat semua itu menjadi nyata, tapi tidak memahami prisip dasar dari itu semua ? prinsip paling dasar dari berkomunikasi yaitu saling menghargai ?
Aku teringat dan limbung memikirkan, berapa banyak murid yang menjadi korban dari tidak berkompetennya guru mereka, yang salah satu nya oleh guru yang tidak ber ETIKA ? bagaimana mungkin seorang guru yang akan mengantarkan mahasiswa di depanku ini, yang dalam beberapa tahun mendatang akan menjadi engineer - engineer dan yang mungkin dalam 10 atau 20 tahun mendatang akan menjadi CEO dari perusahaan telekomunikasi di negri ini tidak memahami hal mendasar ini ?
Tapi diantara membuncahnya kemarahanku itu, aku teringat ucapan ayahku, aku teringat saat - saat dalam masa kecilku itu, aku teringat saat ayahku berdiri sambil memegang kapur di tangannya didepan kelas itu, aku teringat semua guru dan dosen yang pernah mengajarku selama hidup ini. Dan sejenak pilihan tindakan diatas langsung buyar dari pikiranku, digantikan oleh raut tanpa ekpresi sambil berkata pelan "Baik, klo bapak mau tulisan itu saya hapus, akan saya hapus. Ada hal lain pak, yang bisa saya lakukan ?". Lalu beliau ini tidak menjawab, sambil berlalu dan mengambil dengan kasar daftar absen yang ada di meja. Ia sempat berkeliling beberapa saat lagi setelah itu mengitari ruang kelas, sambil bertanya pada mahasiwanya, apakah ada yang ditanyakan mengenai soal ujian dan lalu pergi ke ruang kelas lain. Aku lalu mengambil kursi dan duduk, sambil dalam hati mengucap istighfar menahan kemarahan yang sudah hampir tiba diubun - ubunku.
Dan, 2 jam itupun berakhir, dan aku selesai menjalankan tugasku sebagai pengawas ujian itu. Alhamdullilah, apa yang kukhawatirkan bahwa ujian ini akan berjalan kacau tidak terjadi. Dan saat mengumpulkan berkas ujian itu, salah seorang adik kelas peserta ujian itu menghampiriku, sambil berkata "Bapak itu memang begitu kak. anak - anak juga males diajar sama dia, ga ada yang ngerti dia ngomong apa. Klo pada bisa pindah kelas, pindah kelas dah itu semua. Santai aja, jangan dibawa hati."
Dan saat ini, disini, di tempat ini, aku membaca pengumuman lowongan untuk menjadi dosen luar biasa di salah satu perguruan tinggi di kota parahyangan ini. Aku kembali teringat wajah ayahku, guru - guru dan dosenku dan kawan - kawanku yang beberapanya sudah menjadi dosen. Aku teringat selama 2 jam waktu mengawas ujian itu, aku bertanya dalam hati, apakah aku salah ? apakah aku kalah ? berkali - kali pertanyaan itu selalu terngiang dalam otakku.
Dan diakhir sesi itu, satu yang kuyakini, dan hingga saat inipun masih seperti itu. Aku sudah menang dan aku tidak salah. Karena aku yakini saat itu, bahwa aku berhasil mengendalikan musuh terbesar dalam hidupku, diriku sendiri. Saat itu juga sudah kusaksikan, aku turuti nasehat ayahku dan beberapa bulan kemudian aku selesaikan amanahku, sebagai Sarjana Teknik. Dan saat ini lalu sesudahnya, jika Allah tak membalik hatiku, masih akan sabar aku menunggu saat ketika cita - cita terbesarku tercapai : menjadi dosen, seperti ayahku. InsyaAllah.
Nb :
Seperti juga lembar penghargaan Proyek Ahir dan Tugas Akhirku, tulisan ini untuk semua guru serta dosen yang telah membuka jalan ilmu pengetahuan kepadaku selama ini. Terima kasih bapak dan ibu, karena sudah menjadi guru terbaik bagiku, bagi universitas kehidupanku.
Tertulis di Bandung September 2008
613020022 / 113058039