Menjadi Dosen yang Beretika


"Jika anda sedang benar, jangan terlalu berani dan bila anda sedang takut, jangan terlalu takut. Karena keseimbangan sikap adalah penentu ketepatan perjalanan kesuksesan anda." -Mario Teguh-

Aku teringat beberapa tahun lalu. Saat itu, aku memutuskan untuk mengawas ujian pagi hari pukul 8 itu. Kebetulan aku sudah tidak ada kuliah lagi dan sedang menyelesaikan tugas akhirku, dan bergabung sebagai asisten di salah satu laboratorium riset di kampusku membuatku dapat mengajukan diri sebagai pengawas ujian semester itu.

Dan akupun masuk dalam ruang kelas itu sambil membaca nama mata kuliah, tertulis Sistem Komunikasi. Menurut kabar burung, ini salah satu mata kuliah yang ditakuti. Aku tak tau pasti mengenai hal ini, karena ini bukan mata kuliah bidang studiku. Sekitar 30 mahasiswa tingkat 2 dengan wajah khawatir sudah menunggu di depan pintu dan didalam kelas. Kebetulan beberapanya aku kenal, tapi seperti biasa aku memutuskan untuk tetap menjalankan tugasku dengan baik : mengawas ujian.


Aku teringat ucapan salah satu dosen yang sangat kukagumi, beliau adalah dosen luar biasa dan waktu itu mengajarkanku mata kuliah yang kemudian menjadi favoritku : Struktur Data. Beliau berkata,"klo menjadi asisten, jadilah asisten yang baik, niatkan untuk membagi ilmu, bukan dengan anggapan mengajarkan orang yang lebih bodoh atau mengerjai. Saya salah satu korban dari asisten yang tidak kompeten semasa kuliah, dan sampai saat ini saya tidak suka melihat asisten yang arogan". Aku juga teringat kejadian dari sikap asisten arogan ini, saat itu beberapa kawanku yang baru mengikuti ujian bercerita, bahwa asisten yang mengawas mereka "mengerjai" mereka. Mengerjai, karena saat itu ia berkata di depan seluruh peserta ujian itu, "ok, silahkan menyontek atau liat buku, saya ga akan liat atau lapor". Dan, sontak saja, hampir dipastikan kebanyakan 50 orang di ruang itu akan melakukan kesempatan itu. Dan ternyata, si asisten ini lalu mencatat dan melaporkan semua yang menerima undangan yang dia buat sendiri.

Aku sesali kejadian ini, karena dilakukan oleh seorang asisten dan katanya juga aktivis mahasiwa. Jika memang ia bertugas mengawas ujian yang salah satu tugasnya adalah mencegah seorang untuk berbuat curan, mengapa ia mengundang untuk melakukan itu ? Karena menjadi asisten pengawas ujian tidak sama dengan seorang polisi yang menyamar untuk menangkap pengedar narkoba dengan berpura – pura menjadi pembelinya. Mahasiwa didepan sana bukanlah pelaku kecurangan, tapi difasilitasi untuk melakukan kecurangan. Saat itu aku berharap menjadi salah satu mahasiswa dalam ruang itu, karena jika aku berada dalam posisi itu hampir dipastikan akan kuusahakan asisten bajingan ini ikut serta menerima konsekwensi tindakannya bersama mahasiwa yang menjadi korbannya itu.

Dan saat ini, melihat ketegangan dalam ruang ujian ini, aku memutuskan untuk tidak akan menjadi bagian dari penyebab yang penambah ketegangan kawan - kawan ini menghadapi ujian. Aku melihat syarat ujian nya : tertera close book. cukup jelas. Aku lalu teringat lagi ketidak sukaanku atas buruknya sikap asisten pengawas ujian ketika melaksanakan tugasnya, beberapanya sering kali kulihat berlaku arogan, yang malah menambah kekhwatiran ketika menghadapi ujian dan terkadang mengganggu konsenstrasi. Padahal dengan bersikap biasa saja dan tidak berlebihan, sudah cukup, jika ada yang mencontek bisa ditegur, atau jika tidak mempan keluarkan dari ruangan dan laporkan, apa sulitnya ?


Kembali ketengah ruang ujian ini, seperti biasa hal yang dilakukan pengawas ujian : membagi posisi tempat duduk dan aku menulis dipapan : Close Book, Open Mind dan limit waktu ujian .. sontak terdengar gumaman kekecewaan sambil tersenyum geli dibelakangku dan lalu aku berkata kira - kira begini : "baik, sifat ujian kita close book, silahkan semua barang kecuali alat tulis dan nomor ujian letakkan ke depan. sebelum memulai ujian ini, ada baiknya kita berdoa semoga kawan - kawan diberikan kemudahan." Dan kamipun berdoa. Sesaat setelah kawan - kawan ini mulai mengerjakan ujian, aku mulai bersiap mengambil absen. Tidak ada niat apapun dari tulisan Close book, Open Mind itu selain sambil memberi tau sifat ujian tapi juga mengurangi ketegangan dalam ruangan ini. Tidak ada yang salah dan yang dilanggar dari tulisan itu.

Tapi lalu seorang bapak masuk ke ruang itu, saat itu aku sedang mengambil absen peserta ujian, dan lalu ia berkata dengan intonasi tinggi, "siapa pengawasnya ? anda ?" sambil menatapku. "Ya saya pak", jawabku sambil menghampiri beliau. Bapak ini yang tanpa mengenalkan diri aku tau pasti adalah dosen matakuliah yang kuawasi ini. Ia lalu tiba – tiba membentakku didepan sekitar 30 mahasiswa yang sedang mengerjakan soal - soal ujian itu. Energi yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan untuk sebuah pertanyaan "Apa maksudnya Open Mind ?!? Ini ujian bukan main - main, klo Close book ya close book."


Saat itu, dalam perasaan dipermalukan dan diinjak harga diri, otak kolerik - melankolik ku sontak memberi 2 pilihan untuk diambil saat itu juga, membalas permalukan dengan mengajaknya berdebat atau tidak meladeni semburan horman kemarahan dalam darahku.

Sejenak, aku terlempar pada saat - saat beberapa tahun yang lampau dalam hidupku, ketika aku dan kakakku bermain di halaman luas sebuah kampus di sudut kota dili, lahane barat. Saat itu, ayahku berkerja di Sekolah Perawat Kesehatan Dilli, saat itu Timor - Timur. Aku teringat langkah kecilku ketika memasuki ruang saat ayahku sedang bekerja, mengetok pintunya, tubuhku bahkan tak sampai sepinggang ayahku dan aku bahkan belum masuk sekolah, tapi aku tau pekerjaan ayahku dan apa artinya itu, ayahku seorang guru. Aku berlari berkejar- kejaran dengan kakakku dan menghampur ke ke pelukan beliau, di depan kelas itu, disaksikan oleh sekitar 50 orang siswa ayahku : tante dan om calon perawat, untuk membisikan sebuah permintaan, "papa, minta air minumnya ya". Ayahku saat itu selalu mengambilkan gelas air putih nya, lalu membisikan sesuatu pada kami, "sekarang main di luar ya nak, papa lagi mengajar. hati - hati jangan main di jalan ya"

Aku juga teringat ketika baru tiba dibandung, duduk dengan ayahku, sesaat setelah aku membaca koran yang daftar nama didalamnya menyatakan aku tidak lolos ujian masuk di salah satu Institut Terkemuka di Bandung ini. Saat itu, ayahku menanyakan keyakinanku untuk keputusan yang sudah kubuat beberapa saat lalu, "bagaimana ? adek sudah yakin dengan pilihan ini ?" Ya, saat itu aku menyakinkan diri, untuk mengambil konsekwensi dari kombinasi keputusanku, aku menerima salah satu kesempatan berharga dalam hidupku : mengambil undangan masuk tanpa tes sebagai mahasiwa program diploma di almamaterku saat ini.

Setelahnya, adalah pertama kali aku memasuki kampus itu, berkeliling terkesima melihat megah gedungnya, dan ayahku berpesan : "adek, syukuri kesempatan ini, kuliah yang benar, selesaikan pendidikan adek dan satu yang paling penting, jangan pernah melawan dosen ya nak. Berdebat boleh, tapi jangan dilawan. Memang ga ada manusia yang sempurna, tapi tidak selamanya kebenaran itu harus dipaksakan. Mundur saja dan bersabar ya, karena mulai saat ini adek hadapi segala sesuatu dan konsekwensi tindakan adek sendiri, karena papa jauh dan ga mungkin selalu bisa menolong adek klo adek bermasalah. Ingat itu ya nak."

Dan saat ini, aku sedang berdiri di depan kelas ini, pagi ini, dengan niat menjadi pengawas ujian. Saat itu, aku mahasiwa tingkat akhir, berkutat dengan kode - kode program sembari berharap dapat lulus secepatnya. Di depanku berdiri seorang dosen, yang dari perawakannya kupastikan sudah cukup tua, dengan rambut dan jenggot putihnya, yang baru saja berberapa detik yang lalu mempermalukanku didepan sekitar 30 mahasiswa tingkat 2. Pikiranku mengingat nama mata kuliah yang sedang aku awasi ini, Sistem Komunikasi, xxx SKS berikut kode mata kuliahnya. Dan sosok yang berdiri didepanku ini adalah dosen yang mengajarkanya.

Saat ini, aku ingin mengatakan pada beliau ini dengan nada yang juga sama tingginya mengikuti intonasi kata - kata yang tadi ia sampaikan padaku : "Bapak, bukan berarti sebagai pengawas ujian yang dibayar 15 ribu oleh kampus ini, bapak berhak mempermalukan saya didepan mahasiswa bapak !!". Jika aku tidak berpikir, mungkin itulah tindakan setimpal yang bisa kuambil saat itu. Bagaimana tidak, dari kalkulasiku, aku tidak sedang melakukan hal yang salah, semua prosedur dan aturan yang ada sudah kulakukan. Menuliskan kata "Open Mind" tidak melanggar satupun dari itu semua.

Dalam otakku, pilihan pertama : jika aku mengalah, kupikir saat itu pasti harga diriku jatuh dan aku tidak akan dihargai sebagai pengawas ujian ini yang membuat aku tidak maksimal dalam menjalankan tugasku, dan yang paling aku takutkan aku tak akan dihargai lagi sebagai manusia. Dan pilihan kedua : jia aku mengajak dosen ini berdebat di depan kelas ini, disaksikan oleh seluruh 30 orang mahasiwanya itu, aku mungkin bisa membuat harga dirinya jatuh untuk membalas tindakanya yang tilah mempermalukanku.

Dipastikan jika aku mengambil pilihan kedua ini, sesi perdebatan ini tidak akan selesai sampai disini saja, tapi akan membawa kami hingga komisi disipliner kampus atau pihak yang lebih berwenang untuk hal ini. Dan aku tidak takut, saat itu aku yakin, bahwa aku tidak salah dan toh aku mahasiwa tingkat akhir dan dosen ini bukan dosen di jurusanku, setidaknya ia tidak akan mengajarku atau mengujiku di sidang tugas akhir nanti. Begitulah kalkulasi pikiran arogan ku saat itu.

Sisi logikaku pun saat itu dijungkir balikan, bagaimana mungkin orang yang mengajarkan tentang ilmu dan teknologi untuk berkomunikasi, yang menjadi dasar bagi satelit untuk bekerja yang membuat orang bisa mengetahui posisinya dimuka bumi ini saat ia ditengah lautan hutan belantara, yang menjadi dasar adanya teknologi komunikasi bergerak yang membuat umat manusia dengna mudahnya bisa mengakses pesbuk dimana saja kapan saja saat ini,, bagaimana mungkin orang yang mengajarkan kerumitan semua kalkulasi rumus - rumus untuk membuat semua itu menjadi nyata, tapi tidak memahami prisip dasar dari itu semua ? prinsip paling dasar dari berkomunikasi yaitu saling menghargai ?

Aku teringat dan limbung memikirkan, berapa banyak murid yang menjadi korban dari tidak berkompetennya guru mereka, yang salah satu nya oleh guru yang tidak ber ETIKA ? bagaimana mungkin seorang guru yang akan mengantarkan mahasiswa di depanku ini, yang dalam beberapa tahun mendatang akan menjadi engineer - engineer dan yang mungkin dalam 10 atau 20 tahun mendatang akan menjadi CEO dari perusahaan telekomunikasi di negri ini tidak memahami hal mendasar ini ?

Tapi diantara membuncahnya kemarahanku itu, aku teringat ucapan ayahku, aku teringat saat - saat dalam masa kecilku itu, aku teringat saat ayahku berdiri sambil memegang kapur di tangannya didepan kelas itu, aku teringat semua guru dan dosen yang pernah mengajarku selama hidup ini. Dan sejenak pilihan tindakan diatas langsung buyar dari pikiranku, digantikan oleh raut tanpa ekpresi sambil berkata pelan "Baik, klo bapak mau tulisan itu saya hapus, akan saya hapus. Ada hal lain pak, yang bisa saya lakukan ?". Lalu beliau ini tidak menjawab, sambil berlalu dan mengambil dengan kasar daftar absen yang ada di meja. Ia sempat berkeliling beberapa saat lagi setelah itu mengitari ruang kelas, sambil bertanya pada mahasiwanya, apakah ada yang ditanyakan mengenai soal ujian dan lalu pergi ke ruang kelas lain. Aku lalu mengambil kursi dan duduk, sambil dalam hati mengucap istighfar menahan kemarahan yang sudah hampir tiba diubun - ubunku.

Dan, 2 jam itupun berakhir, dan aku selesai menjalankan tugasku sebagai pengawas ujian itu. Alhamdullilah, apa yang kukhawatirkan bahwa ujian ini akan berjalan kacau tidak terjadi. Dan saat mengumpulkan berkas ujian itu, salah seorang adik kelas peserta ujian itu menghampiriku, sambil berkata "Bapak itu memang begitu kak. anak - anak juga males diajar sama dia, ga ada yang ngerti dia ngomong apa. Klo pada bisa pindah kelas, pindah kelas dah itu semua. Santai aja, jangan dibawa hati."

Dan saat ini, disini, di tempat ini, aku membaca pengumuman lowongan untuk menjadi dosen luar biasa di salah satu perguruan tinggi di kota parahyangan ini. Aku kembali teringat wajah ayahku, guru - guru dan dosenku dan kawan - kawanku yang beberapanya sudah menjadi dosen. Aku teringat selama 2 jam waktu mengawas ujian itu, aku bertanya dalam hati, apakah aku salah ? apakah aku kalah ? berkali - kali pertanyaan itu selalu terngiang dalam otakku.

Dan diakhir sesi itu, satu yang kuyakini, dan hingga saat inipun masih seperti itu. Aku sudah menang dan aku tidak salah. Karena aku yakini saat itu, bahwa aku berhasil mengendalikan musuh terbesar dalam hidupku, diriku sendiri. Saat itu juga sudah kusaksikan, aku turuti nasehat ayahku dan beberapa bulan kemudian aku selesaikan amanahku, sebagai Sarjana Teknik. Dan saat ini lalu sesudahnya, jika Allah tak membalik hatiku, masih akan sabar aku menunggu saat ketika cita - cita terbesarku tercapai : menjadi dosen, seperti ayahku. InsyaAllah.



Nb :
Seperti juga lembar penghargaan Proyek Ahir dan Tugas Akhirku, tulisan ini untuk semua guru serta dosen yang telah membuka jalan ilmu pengetahuan kepadaku selama ini. Terima kasih bapak dan ibu, karena sudah menjadi guru terbaik bagiku, bagi universitas kehidupanku.

Tertulis di Bandung September 2008
613020022 / 113058039

Obfuscator


*Copyright : Diperbolehkan mengutip keseluruhan atau sebahagian dari isi dokumen ini dengan atau tanpa  ijin penulis dengan tetap menyajikan kredit penulis.


10 signs that it's time to look for a new job


This article was copyed from Tech Republic, maybe that can be used as consideration for you that think to quit from your current job. Good luck guys


-----------
Author: Becky Roberts
Changing jobs can be a life-altering decision that requires considerable courage, especially in the current economy — but it’s easier if you’re convinced it’s the right thing to do. IT pro Becky Roberts put together a list of factors that helped her decide on a career shift.


Before I quit a job I had held for nine years and four months, I gave the topic of job-changing a great deal of thought. However bad a job may be and however much you dread Monday mornings, making the decision to leave the job — especially one you have held for some years — is never an easy process. Even if your boss is an ogre, your pay raises haven’t kept up with the cost of living, and your skills haven’t been relevant for six years, you know you can handle this job.

There’s a large degree of comfort in your current responsibilities and the company you’re familiar with. Part of your brain knows you’re capable of more, but another part is fraught with self-doubt and wakes you from sleep at 2:00 AM in a cold sweat, beaming an image of you in your new job frozen by ignorance, out of your depth, and facing termination.

So how do you know when it’s time to go? Based on my experience, here are my top 10 indicators that it’s time to make the change.
1: You know you aren’t performing to the best of your ability
We all go through slumps, bad days, even bad weeks when we just don’t care, don’t give it our best… but what if that week turns into months? If you just don’t have what it takes to give it your best, something needs to change. This is a common sign of burnout or of being overworked, underworked, underchallenged, or out of your depth.


If lack of motivation is the only issue, it may be possible to effect change within your current company by requesting different responsibilities, more training, or another position. But if none of these options is available, it’s time to update your resume.

2: You start gravitating toward coworkers you can be disgruntled with
Think about the people with whom you choose to socialize at work. Whose company do you seek out? Are you drawn toward the malcontents, the people who derive pleasure from complaining about their boss, the declining benefits, and the unreasonable overtime? When people ask you what you like about your job, is it rather like when Uncle Bob asked, “What’s your favorite subject at school?” and all you could think of was recess?

3: You can’t picture your future with your current employer
Do you remember those irritating questions the last time you were interviewed: “Where do you see yourself in three years? Five years? Ten?” Perhaps it’s time to ask yourself those questions again. But this time ask, “Do I see myself HERE in three years? Five years? Ten?” If the answer to any of these questions is “no,” what is your plan? Where do you want to go? When were you planning to make your move?

As much as we’d all like to simply wake up one day to find ourselves in the perfect job, the chance of it happening is probably slightly slimmer than a one-eyed, polka-dotted aardvark materializing in your trash compactor. If you know that you want to be working someplace else at some point in the future, it’s never too soon to make a plan.

4: You take inventory of your job’s pros and cons… and the cons win
If you’re having a hard time deciding whether to change jobs, try this simple exercise. Create a document with two lists — things you like about your current job, the pros, and things you dislike, the cons. Next, apply a weighting to the items. This can be as simple as a value from 1 to 10 to rate the importance of each factor. For example, if the stringent dress code is on your list of cons but it isn’t that important to you, give it a 1 or 2. But if the excellent health insurance is a pro, it would probably warrant at least a 7 or an 8.
Next, add up each list. If the cons outweigh the pros, it’s probably worth at least considering a change. If nothing else, this exercise will force you to focus on what you specifically do and do not like about your current position and give you a more concrete idea of what to look for in a new position.

5: You look for ways to improve your current situation but you can’t turn it into what you really want
Another useful exercise is to take your list of pros from the previous exercise and expand upon it. Elaborate on the items already on the list and add other items you wish you could claim about your current position. When you’re finished, review the list for items you may be able to make happen at your current company. If you want more responsibility or more flexible hours, you might be able to work that out, whereas if you work for a missile manufacturer and happen to have developed pacifist beliefs since accepting the position, your only reasonable option is to seek a position in a different company. In other words, before jumping ship under the assumption that a new position will make all your problems vanish in an instant, make the effort to effect improvements in your current position. If trying to make changes proves futile, you’ll be more confident that seeking a new position is the right thing to do.

6: Your skills are lagging and your position offers no opportunities to update them
How is your skill set? Are you able to keep your skills up to date? What would happen if your company went under today and you were forced onto the job market? Would you struggle to find a better or even an equivalent position because your skills are out of date? If this is the case, is there anything you can do to rectify the situation in your current position? Are there training opportunities you haven’t been taking advantage of?


If it’s not possible to stay employable in your current position, it’s definitely time to make a change, even if you enjoy the job and your company seems stable. You may be able to supplement your company’s deficit by paying for your own training, but without the opportunity to use your new skills in a work environment, such training will be of little value. To determine the current marketability of your present skill set, try searching for jobs equivalent to yours. Do you meet the minimum requirements?

7: You can’t get enough positive reinforcement to keep your spirits up
Do you feel valued? Feeling valued in your job is one of those almost indefinable benefits or forms of compensation that can’t be measured by any objective means. The degree to which someone needs to feel valued to be happy in a job varies greatly from person to person. Some people are perfectly content never to receive a word of praise or public acknowledgment of their achievements. For others, this type of recognition is more important than a generous salary.

The first step toward obtaining an appropriate position in this respect is to become aware of your own needs. The next step is to develop some techniques for determining whether these needs will be met when considering a new position, perhaps by asking appropriate questions during interviews or by finding current employees willing to talk. If you’re already in a job that you otherwise like, figure out what you need in order to feel valued and find ways to communicate these needs to the appropriate person.

If the only time your boss talks to you is to tell you that you need to do better or improve your attitude, try explaining that it would also be helpful to know when you are doing something right. Try being proactive and ask your peers, your users, or your superiors to let you know if there’s more you can do to help them. This could have the pleasant side effect of eliciting some positive feedback when they tell you that they’re perfectly satisfied with your current level of service. If you still can’t get the validation you need, it could be time to seek it elsewhere.

8: Your salary just isn’t enough

Are you paid what you’re worth? Although receiving inadequate financial compensation for your efforts is rarely the sole or even the most important reason that people change jobs, it’s a significant factor. For most people, being paid what they’re worth — at or above the going market rate for their job function — is an essential aspect of feeling valued. Don’t know what you are worth? Try looking at comparable positions on job hunting Web sites, review compensation surveys, or update your resume and submit it to a headhunter to solicit feedback.
Being paid inadequately can be particularly galling if you happen to find out that one of your less experienced and/or less qualified co-workers is being paid more. Early in my career, I was given the task of training a new employee, an assignment I took on quite willingly until I learned that despite her lack of experience, her salary was almost exactly double mine. Although I continued to train her, my enthusiasm definitely waned. My request for a mere 5 percent pay increase was denied, so I took the only reasonable course of action and secured a position with a different company. In this case, salary was not the only factor, but it was the one that finally persuaded me to make a change.


9: You want to live somewhere else
Have a great job but hate the location? Even if you have the perfect job, unless your career is the single most important aspect of your life, disliking the area in which you live or having a burning desire to live someplace else is an important factor in deciding to change jobs. Since accepting my first IT job, the need to relocate has been a significant force in my decision to change companies three out of four times. In fact, of those three, I relocated twice without even having a job to go to.


10: Your company or work situation has changed radically since you were hired
Your job used to be perfect, but now it has changed. Maybe your company was bought out or your boss retired or got reassigned. Or perhaps your company had a significant shift in operating philosophy or in its mission, and now you’re no longer working in the same environment into which you were originally hired. If such changes occur, you basically have three choices: Go with the flow and make the most of the situation, quit, or stay and complain. These types of changes can be so far-reaching in their impact upon your daily life that the result is not dissimilar to being forced to change jobs and companies. You may be going to the same physical location each day, but every other aspect of your job has been transformed. Even if you’re not unhappy with the changes, this is a good opportunity to reexamine where you are in your life and make sure you take full advantage of the new circumstances.

Prepocessing


Masih seputar tidak begitu manisnya slogan write once, run everywhere pada java mobile, maka porting menjadi hal yang cukup krusial yang perlu diperhatikan mobile developer dalam mengembangkan sebuah produk mobile application. Hal - hal yang menjadi perhatian seperti : display size apa saja yang didukung ? JSR API apa saja yang digunakan oleh source ? di platform apa program ini akan berjalan, Nokia S60 ? Nokia S40 ? blackberry ? Motorola ? Bahasa apa yang akan digunakan untuk antar muka ? dsb. Dari hal - hal tersebut, developer dapat menentukan variabel apa saja yang akan disertakan dalam proses deployment.

Preprocessing adalah cara porting yang dilakuakan dengan memodifikasi kode program berdasarkan platform yang akan ditargetkan. Simbol prepocessor ini dapat digunakan untuk melakukan testing pada berbagai emulator dan deployment pada berbagai platform berbeda. Hal ini sangat menguntungkan dan menghemat waktu, karena memungkinkan developer untuk membuat konfigurasi berbeda - beda untuk menghasilkan berbagai versi program yang akan berjalan pada platform / handset berbeda dengan source dari project program yang sama. Sebagai contoh, perubahan pada logic pada line program cukup dilakukan 1 kali dan akan berdampak pada keseluruhan konfigurasi, atau jika line perubahan tersebut hanya akan digunakan untuk konfigurasi tertentu (misal hanya untuk handset S60 tapi tidak S40), maka cukup tambahkan prepocessor pada line tersebut.

Berikut contoh penggunakan prepocessor untuk kasus pendefenisian variabel berdasakan resolusi layar :

#if screenWidth == "175"
widthX = 10;
heightY = 20;
#elif screenWidth == "240"
widthX = 20;
heightY = 30;
#endif

Berikut contoh penggunakan prepocessor untuk pada penggunakan canvas, dimana pada platform nokia mendukung fullcanvas pada package com.nokia.mid.ui. dan yang lain cukup menggunakan package standar pada javax.microsedition.lcdui.

#if nokia
import com.nokia.mid.ui.FullCanvas;
#else
Import javax.microsedition.lcdui.*;
#endif

untuk melakukan testing dan deployment kode program diatas, dapat dilakukan dengan membuat konfigurasi berbeda. Pada Netbeans, dapat dilakukan dengan mendefenisikan ability dan value yang diinginkan pada project properties.
1. Klik kanan pada nama Project; Properties


2. Pilih Abilities; Akan tampak table ability yang otomatis di generate oleh IDE, pilih Add --> devenisikan variabel prepocessor baru yang digunakan pada line program. Anda dapat membuang variable abiliti yang tidak dibutuhkan. devoper juga dapat melakukan pendefenisian ulang untuk variabel ability yang sudah ada, seperti ScreenWidth, ScreenHeight, JSR, dll dengan menekan Edit atau klik pada baris nama ability yang akan di ubah; Ok


3. Developer juga dapat membuat berbagai macam konfigurasi pada property project. Pilih Platform; Manage Configurations; akan muncul Project Configuration Manager; pilih Add atau Add more; akan muncul Add Project Configuration; masukan nama konfigurasi misal, S60_3Ed_240x320; Ok


4. Pada konfigurasi ini, developer dapat melakukan kustomisasi yang spesifik untuk project seperti API yang didukung, platform, CLDC dan MIDP version, nama JAR - JAD untuk keperluan pendistribusian program, dll

Also similar topic can be read at :


*Copyright : Diperbolehkan mengutip keseluruhan atau sebahagian dari isi dokumen ini dengan atau tanpa  ijin penulis dengan tetap menyajikan kredit penulis.
 


Midlet Icon


*Copyright : Diperbolehkan mengutip keseluruhan atau sebahagian dari isi dokumen ini dengan atau tanpa  ijin penulis dengan tetap menyajikan kredit penulis.