Mengapa Aku Menulis


"Demi masa (waktu). Sesungguhnya manusia (dalam) kerugian."

Raihan – Demi Masa*


Hari ini, disela waktu luang, aku mencari tautan namaku pada jejaring dunia maya melalui mesin pencari sensasional, paman google. Aku berseluncur, mengunjungi dan membaca rumah maya kawan - kawan sejawat dan mempelajari pemikiran mereka.

Tanpa sengaja, dalam keasikan membaca itu, aku terdampar pada beberapa halaman asing, yang beberapanya menampilkan ulang tulisan - tulisan yang pernah kubuat dan sempat di-share beberapa tahun, bulan atau hari lalu, baik pada rumah pribadi ini dan beberapa website yang berhubungan.

Senyum simpul tersirat dari wajahku, gembira karena apa yang kulakukan -walaupun kecil- ternyata bisa menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain. Namun, kali ini dan kali sebelumnya, aku kembali tak sengaja melihat ada yang berbeda dari tulisan itu.

Tak jarang, tulisan yang -kadang- dibuat berbulan-bulan, melewati kantuk yang datang menyerang di tengah malam - malam sunyi, atau kebosanan tak tertahankan, hingga menjadi beberapa baris tulisan atau puluhan lembaran buku, dijiplak mentah - mentah (baca : dicuri). Kusebut seperti itu karena, bahkan tak satu kata pun diubah kecuali menghilangkan namaku sebagai penulisnya dan atau menggantinya dengan nama yang bersangkutan. Pun, ejaan salah yang sempat tertuliskan pada kata dalam tulisan itupun masih sama dengan aslinya. Di lain waktu, ketika tulisan itu dipecah menjadi beberapa bagian (karena terlalu panjang), tak jarang juga yang bersangkutan lupa merubah semua nama penulisnya : pada bagian pertama nama penulis diubah menjadi nama yang bersangkutan, namun pada tulisan kedua tidak diubah.


Sempat aku meminta beberapa dari yang bersangkutan ini untuk mencantumkan nama penulis asli berikut daftar pustakanya. Khusus yang terakhir, -daftar pustaka- menurutku sangat penting, karena tulisan tersebut aku buat dengan mereferensi pemikiran orang lain. Namun, mungkin karena penjiplak ini, memang tidak mampu mengerti tentang konsep menghargai hasil karya dan intelektual, ia bukannya berterimakasih sudah diperbolehkan men-copy tulisan tersebut atau meminta izin untuk itu (walau cukup terlambat), namun balik marah dan berkata padaku "tuh, udah gue cantumin nama lu"

Membaca itu, aku hanya bisa berucap astaghfirullah. Perasaan kesal dan direndahkan pernah dan acap kali menyergap ketika hal ini berkali - kali kutemui. Memang membuat tulisan saat ini tidak -atau setidaknya belum- menjadi sumber pendapatan bagiku, sehingga hal - hal seperti itu (baca : dicurinya hasil karya) setidaknya tidak memberikan kerugian secara materil bagiku, walaupun ada secercah keinginan untuk membuat buku -yang sebenarnya- suatu saat nanti. Dan lagipula, bukankah setiap makhluk yang tercipta sudah dijaminkan rezki nya oleh Allah ?

Namun, menulis dan hasilnya, adalah sesuatu yang begitu berharga, karena tidak terjadi dan tercipta secara tiba - tiba. Proses transformasi gelombang dan materi pemikiran ini tidak begitu saja dengan mudahnya berubah menjadi sesuatu yang nyata terlihat, seperti tulisan. Tidak seperti proses ketika Prof. Dumbledore mengucapkan mantra ajaib, mengarahkan tongkat sihir pada pelipis kepalanya, dan tiba - tiba siluet putih perwujutan pemikiran dan ingatan yang diinginkannya keluar dan bisa disimpan dalam baskom Pensieve, dan dapat dilihat suatu saat nanti setiap kali diinginkan, cukup dengan menceburkan kepala kedalamnya.

Banyak penulis pernah menghadapi hal - hal seperti ini dan menyikapinya dengan cara berbeda - beda. Aku sebelumnya sempat menemui pengalaman serupa mas Imam Brotoseno -seorang Sutradara hebat sekaligus penulis yang kukagumi karena keluwesan dan kelugasannya bercerita dengan apa adanya- mengenai tulisan beliau yang dibagikan pada blog pribadinya mengenai Bung Karno, yang diambil tanpa izin, tanpa menuliskan pemilik aslinya, dan dijadikan sebagian dari buku yang dipublikasikan secara masal (dan hit rilis pula di toko buku terkenal di negri ini).

Membaca itu, sempat aku turut kesal dan tak habis pikir pula, bahwa hal tercela dan sangat terhina seperti ini, dilakukan oleh orang - orang dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi yang harusnya juga melambangkan tingginya tingkat intelegensinya. Tidakkah mereka berpikir selama proses menuangkan pemikirannya itu? Namun, ternyata hukum keselarasan memang tidak selamanya berlaku dalam pribadi manusia, karena kadang tingkat intelegensi ini tidak selamanya berbanding lurus dengan penalaran, bahkan kadang berbanding terbalik.

Dan apakah hal - hal seperti itu akan membuat aku berhenti menulis ? Aku bertanya pada diriku. Berulang kali. Dan setiap kali itu juga, aku menjawab : tidak. Menulis terlalu dekat dengan hatiku, ibarat mendengar sebuah nada yang terlantun dalam imajinasi spektrum otak, maka menulis adalah not nya. Ia pasti ada, dan tak mungkin berbeda dari apa yang terdengar.


Aku teringat salah satu ucapan Rasullullah SAW tentang amalan apakah yang tidak akan pernah putus walaupun dipisahkan oleh kematian sekalipun, diriwayatkan pada HR. Muslim : "Apabila anak Adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali 3 : sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.

Aku memang bukan orang yang kaya seperti khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Khadijah binti Khuwailid. Bukan pula orang yang begitu pintar dengan ingatan kuat dan pengetahuan yang banyak seperti Ibnu Sina atau Galileo Galilei atau pemikir hebat lainnya. Dan pastinya, belum punya anak. Aku juga bukan penulis hebat apalagi produktif, karena bagiku menulis masih begitu sulitnya dan adalah suatu perjuangan, melawan rasa malas, takut dan menunda - nunda apa yang ingin atau seharusnya kukerjakan, sekelompok insting negatif dasar yang semua manusia pernah dan terus rasakan dalam hidup, untuk dikendalikan dan dikalahkan. Begitu mengherankan bagiku, bagaimana insting serupa yang kualami dalam menulis ini jugalah, yang pasti ditemui dan harus terus dilawan oleh seorang survivor untuk bertahan hidup, keluar dari ketersesatan di tengah hutan belantara misalnya.

Aku menulis, sebagai perjuangan mengiringi rusak dan putusnya satu - satu persatu jaringan neuron otakku ini dari setiap waktu yang pasti selalu berlalu dalam hidup. Aku menulis untuk menyambut periode menakutkan dalam berpikir, menjadi lupa. Aku hanya orang biasa yang mencoba mengabadikan bunyi dalam pikiranku menjadi rangkaian not, agar nadanya tetap bisa bersenandung dalam ruang ilmu yang tak akan pernah bisa aku ketahui dimana batasnya. Agar kelak, ketika nada - nada itu sudah tak lagi terdengar dalam kepalaku, ia masih akan bisa kubaca dan kulihat.

Dan, ilmu yang sedikit ini, tentu bukan milikku, tapi hanya titipan, yang disela waktu luangku -yang juga diberikan oleh Yang Menguasainya-, sanggup aku tuangkan menjadi tulisan. Semua pengetahuan ini, entah yang tersembunyi dalam ratusan lembar - lembar buku tua atau mahal, dalam gelapnya perut bumi, dalam luasnya angkasa raya, dalam kecilnya sebuah sel makhluk mikro, atau yang ada dalam persembunyian otak manusia; ada yang memilikinya, hanya satu : Sang Pencipta.

Dan, setiap kali selesai aku menulis, hanya secercah harapan yang kutitipkan pada setiap huruf, kata dan kalimat didalamnya -seperti juga yang pernah mas imam tuliskan dalam blog nya- , agar ini mampu menjadi segelas air bagi oase pengetahuan, walaupun hanya seteguk. Semoga Allah meridhai apa yang telah kita lakukan, hidup kita ini, dan pengetahuan yang didapat didalamnya.

Jangan takut menulis, kawan..Selamat berkarya, dalam tanpa ruang batas.

Salam, 
Al-Kahfi

* Seperti disuratkan dalam Al 'Ashr (Masa) 1 - 2

Met Lebaran Ya..

Dear All,
Entah, apakah kita masih akan bertemu di Ramadhan selanjutnya.
Hanya saja, sebelum Ramadhan saat ini berakhir, dan menjelang suci-nya Syawal,
Saya ingin mengucapkan

Minal Aidin Wal Faidzin..
Met Lebaran di Idul Fitri 1430 H


Semoga sesuci dan dalam keteduhan hari yang seperti itu juga,
hati dan hidup kita ini akan melangkah


Salam hangat dari rumah,
Aidi


met mudik aman ya..sampai ketemu lagi diperantauan ^_*!!