Tentu banyak yang tau kehebohan Rohut Sitompul saat meminta keterangan JK di pansus beberapa waktu lalu. Banyak yg tersinggung dengan cara rohut bertanya sambil menggunakan kata "daeng" yang dianggap bernada melecehkan.
Berikut tanggapan JK yang di posting langsung oleh beliau di kompasiana http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/16/hati-hati-memanggil-orang-bugis-dengan-daeng/
terima kasih untuk pesannya saya sudah baca tulisan anda…memang banyak yang mempersoalkan itu, tapi bagi saya pribadi, saya anggap secara kultural, panggilan “daeng” sama saja dengan panggilan “mas” di Jawa sana. meskipun kadang2 di makassar kita juga tidak suka dipanggil mas karena itu panggilan tukang bakso, sama halnya daeng boleh jadi, orang yang dipanggil tersebut akan tersinggung. Saat ini, memang panggilan daeng lebih banyak ditujukan pada profesi tukang becak, sopir angkutan, atau penjual ikan.. Tapi,
situasinya berbeda dengan saat berada di Jakarta. Saat di Jakarta, saya merasakan bahwa panggilan daeng ini menjadi sapaan yang lazim di kalangan kita yang berasal dari Sulsel. Panggilan ini menjadi penanda, semacam penegasan bahwa kita berasal dari daerah yang sama, maka kita adalah saudara. Di Jakarta, seorang warga Sulsel yang memanggil sesamanya dengan panggilan daeng, dianggap sangat sopan dan menghargai sesamanya. Panggilan itu adalah pernyataan bahwa kita sesama saudara seperantauan yang saling menghormati. Jika kemudian warga etnis lain ikut-ikutan memanggil ”daeng”, maka itu dianggapnya sebagai panggilan kehormatan. saya memang sering disapa daeng oleh sesama di Jakarta. Daeng Ucu’ begitu teman2 menyapa saya. saya anggap tak ada yang salah dengan panggilan itu sebab merupakan bentuk penghormatan dan pernyataan bahwa kita sesama saudara. Jika belakangan panggilan Ruhut menimbulkan reaksi, mungkin itu dikarenakan karena intonasinya yang seakan melecehkan. Ia seolah sedang menginterogasi, dan beberapa kali mengulang kata Daeng Jusuf Kalla. Dengan intonasi seperti itu, sah-sah saja jika orang Sulsel menganggapnya pelecehan. tapi jangan berlebihan lah, memang kawan kita suka begitu… saya sendiri sampai saat ini masih merasa biasa biasa saja, dengan sudah terbiasa dengan Bung Ruhut…
situasinya berbeda dengan saat berada di Jakarta. Saat di Jakarta, saya merasakan bahwa panggilan daeng ini menjadi sapaan yang lazim di kalangan kita yang berasal dari Sulsel. Panggilan ini menjadi penanda, semacam penegasan bahwa kita berasal dari daerah yang sama, maka kita adalah saudara. Di Jakarta, seorang warga Sulsel yang memanggil sesamanya dengan panggilan daeng, dianggap sangat sopan dan menghargai sesamanya. Panggilan itu adalah pernyataan bahwa kita sesama saudara seperantauan yang saling menghormati. Jika kemudian warga etnis lain ikut-ikutan memanggil ”daeng”, maka itu dianggapnya sebagai panggilan kehormatan. saya memang sering disapa daeng oleh sesama di Jakarta. Daeng Ucu’ begitu teman2 menyapa saya. saya anggap tak ada yang salah dengan panggilan itu sebab merupakan bentuk penghormatan dan pernyataan bahwa kita sesama saudara. Jika belakangan panggilan Ruhut menimbulkan reaksi, mungkin itu dikarenakan karena intonasinya yang seakan melecehkan. Ia seolah sedang menginterogasi, dan beberapa kali mengulang kata Daeng Jusuf Kalla. Dengan intonasi seperti itu, sah-sah saja jika orang Sulsel menganggapnya pelecehan. tapi jangan berlebihan lah, memang kawan kita suka begitu… saya sendiri sampai saat ini masih merasa biasa biasa saja, dengan sudah terbiasa dengan Bung Ruhut…
0Awesome Comments!