Kasus sengketa tanah Meruya tak lain adalah masalah pertanahan di Meruya Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat tiba-tiba menghentak perhatian publik paska keluarnya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan tanah seluas 44 hektar di wilayah Meruya sebagai milik yang sah dari PT Porta Nigra. Sebagian dari tanah seluas 78 hektar ini (10 RW) yang dihuni ribuan penduduk dengan berbagai bangunan di atasnya -termasuk perumahan DPR 3, komplek Dewan Pertimbangan Agung ( DPA ), Komplek unilever, perumahan karyawan Walikota Jakbar, Kavling DKI Meruya, Meruya Residence, Taman Kebon Jeruk, Perumahan Mawar, Kavling BRI, Grand Villa, menara stasiun televisi ANTEVE, menara stasiun televisi LATIVI, sebidang tanah milik stasiun televisi METRO TEVE dan gedung Cek dan Ricek, dll –akan dieksekusi sesuai dengan keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Kilas Balik
Konon dikisahkan pada rentang waktu hingga tahun 1960-an, daerah Meruya Udik –kini Meruya Selatan- adalah area persawahan yang dikelola oleh penduduk sekitar. Namun, seiring perjalanan waktu -seperti daerah pinggiran lainnya di Ibukota negara ini- daerah tersebut perlahan berubah menjadi area pemukiman warga menengah keatas. Di area seluas 78 hektar ini terhampar perumahan, aset pemerintah dan swasta dan berbagai fasilitas pendukung kehidupan rakyat urban lain.
Perubahan dasyat Meruya sendiri sebenarnya dimulai sejak 1970-an. Pada 1972, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya Udik yang luasnya mencapai luas 78 hektare. Kemudian pada rentang tahun 1972-1973, Djuhri –yang kala itu sebagai koordinator penjualan tanah dengan jabatan resmi pegawai kantor Kelurahan Meruya Udik- menjualnya kepada PT Portanigra, -sebuah perusahaan properti milik Beny Rachmat- seluas 44 hektar Kelurahan Meruya Selatan seharga Rp. 300 per meter persegi. Proses pembebasan tanah tersebut diketahui dan disetujui Lurah Meruya Udik, Asmat bin Siming dan penggantinya (1973).
Masalah muncul ketika PT. Portanigra menuduh tiga mandor itu membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978. Dalam proses pemeriksaan, 3 mandor tadi mengaku menjual kembali girik tanah yang telah dibebaskan tersebut kepada enam pihak dengan menggunakan surat-surat palsu yaitu, Pemprov DKI Jakarta seluas 15 hektare untuk proyek lintas Tomang seluas 15 hektare seharga Rp. 200 rupiah per meter persegi pada tahun 1974, PT Labrata seluas 4 hektare, PT Intercone Enterprize 2 hektare (Perumahan mewah Taman Kebon Jeruk seluas 150 Hektar yang juga meliputi area Meruya Selatan), PT Copylas 2.5 hektare pada tahun 1975, Drs Junus Djafar 2,2 hektare, dan Koperasi BRI 3,5 hektare pada 1977.
Di sinilah kemudian Pemda DKI Jakarta juga mulai masuk dalam persoalan. Pada 1986, Djuhri dinyatakan bersalah dan divonis hukuman percobaan selama satu tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Selanjutnya Juhri harus menyediakan lahan seluas tiga hektar dan uang senilai Rp 175 juta. Khususnya untuk uang itu sendiri, Juhri menyerahkan uang tunai senilai Rp 57 juta dan sisanya dalam bentuk penyerahan lahan yang terdiri atas satu hektar tanah di Tambun, dan satu hektar di Kebon Kacang atau kawasan Ciledug. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun penjara, kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia harus masuk penjara pada 1989. Sedangkan barang bukti diserahkan kepada yang berhak yakni PT. Portanigra dan girik palsunya dimusnahkan. Persoalan itu juga sudah selesai saat kuasa dari PT Portanigra yang diwakili oleh Mayjen TNI AL (Purn) Mohammad Anwar.
Rupanya saat proses persidangan berjalan, tanah itu sudah berpindah tangan beberapa kali alias tanah tersebut diperjual-belikan dan dibangun warga. Ribuan warga bahkan kemudian mendapat SERTIFIKAT TANAH dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sertifikat untuk hak milik ada 4.228, sertifikat hak guna bangunan 1.908 bidang dan sertifikat hak pakai 90 bidang diatas lokasi tanah tersebut. Dari semua sertifikat itu, ada pula yang digunakan sebagai jaminan yaitu sertifikat hak milik 451 bidang dan hak sertifikat guna bangunan 312 bidang. Entah dari mana sumber girik yang mereka dapatkan untuk kemudian dijadikan sertifikat. Padahal, girik aslinya seharusnya sudah dikembalikan pada PT Portanigra, sedangkan girik palsu sudah dimusnahkan.
Memasuki tahun 1991, kasus ini muncul kembali. Berbekal putusan pidana tadi PT Portanigra menggugat Juhri yang dianggap telah melakukan kecurangan dalam penyediaan lahan dan dikenai Pasal 385 dan 386 KUHP. ”Namun, berdasarkan pemeriksaan Polda Metro Jaya dinyatakan tidak ada bukti. Hal ini berarti permasalahan itu sudah selesai, namun anehnya tiba-tiba muncul kembali bahkan luas arealnya juga bertambah," kata Djunaidi SH (Republika 7/5/07). PT. Portanigra kemudian menggugat perdata ketiga mandor tersebut pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang diklaim milik PT Portanigra. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan banding. Namun, pada 2001, nasib berbalik memihak PT Portanigra ketika perkara sampai di Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan PT Portanigra. ”Putusan perkara pidana dan bukti jual-beli memang jadi pegangan putusan kasasi,” kata Nurhadi, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung.
Tanggal 9 April 2007 barulah turun Surat Eksekusi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat yang ditandatangani oleh Ketua PN Jakbar, Haryanto SH. Adalah Kaharudin Dompu Ketua Dewan Kelurahan Meruya Selatan yang pagi itu sudah berada di kantor Kelurahan Meruya Selatan dan tertarik pada seberkas surat yang tergeletak di meja Lurah. Ia sempat membacanya dan seketika itu juga terperanjat. Surat itu adalah rencana penyitaan oleh pengadilan atas 44 hektare tanah di Kelurahan Meruya Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Permohonan sita itu diajukan PT Portanigra dan eksekusinya akan dilakukan pada 21 Mei oleh juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Barat. ”Kok, bisa begini? Kenapa Anda tidak memberi tahu kami?” tanya Kaharudin kepada Lurah Samsul Huda. ”Saya bingung mau memberi tahu warga,” jawab Samsul. Kaharudin makin kaget ketika sang Lurah mengaku sudah mengikuti rapat persiapan eksekusi di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 26 April.
Lahan yang dieksekusi sendiri tersebar di 10 dari total 11 RW yang ada di Kelurahan Meruya Selatan dan terbagi dalam 311 girik. Pemilik tanah yang akan terkena eksekusi sebanyak 5.563 kepala keluarga (KK) atau sekitar 21.760 jiwa. Meliputi warga di Perumahan karyawan Wali Kota Jakarta Barat, Kompleks Perumahan DPR 3, Perumahan mawar, Meruya Residence, Kompleks Perumahan DPA, Perkaplingan BRI, Kompleks Perkaplingan DKI, Green Villa, PT Intercon Taman Kebon Jeruk dan Perumahan Unilever.
* Sumber :
0Awesome Comments!