Penundaan Eksekusi
Karena ada perlawanan gugatan dari warga dan dari Pemda Provinsi DKI Jakarta itulah, maka Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) rencana eksekusi tanah di Meruya Selatan yang menjadi sengketa antar warga dengan PT. Porta Nigra pada 21 Mei 2007 ditunda. Hal ini diungkap Ketua PN Jakbar, Haryanto, di Jakarta, Senin (14/5).
Penundaan ini dilakukan hingga gugatan warga memiliki putusan hukum yang sah dan mengikat. Sedangkan adanya penundaan tersebut yang berarti keputusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memenangkan PT. Porta Nigra tidak berlaku lagi.
Haryanto mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan terlebih dahulu karena masih banyak yang harus dipelajari. Dia juga mengakui, PN Jakbar telah menerima surat dari kantor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang menyebutkan, Sejak tahun 1993 data – data pajak dan girik sudah tidak administrasikan lagi, serta berdasarkan surat edaran Direktorat Jenderal Pajak No. 15/1993 dan 32/1993, PBB sudah dilarang untuk melakukan pelayanan terhadap girik – girik yang terdapat di dalam gugatan PT. Porta Nigra. “Artinya girik – girik tersebut sudah dianggap tidak ada.”
Sementara itu, Direktur Utama PT Portanigra, Benny Purwanto Rachmad, Senin (14/5) sore, dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR mengatakan, warga Meruya Selatan yang memiliki sertifikat tanah sebelum 1997 akan dibebaskan dari eksekusi yang bakal dilakukan oleh PT Portanigra. "Bagi pemilik sertifikat setelah 1997, kita minta supaya bersama-sama menggugat Pemda, kenapa mengeluarkan sertifikat-sertifikat itu setelah berita sita jaminan keluar," ucapnya.
Pada raker dengan Komisi II, kuasa hukum PT Portanigra, Yan Djuanda Saputra mengatakan, kliennya sendiri hanya akan mengeksekusi 15 hektare lahan kosong. "Tak benar kami akan mengeksekusi perumahan DPR, Universitas Mercu Buana, gereja, serta sekolah. Lahan 15 hektare itu hanya meliputi Kavling DKI dan Kavling BRI," katanya.
Namun, peta yang digunakan PT Portanigra untuk menunjukkan lahan 15 hektare yang disebut lahan kosong, dipertanyakan oleh Komisi II, lantaran bukan peta resmi. Oleh karena itu, Komisi II meminta Portanigra memberikan peta asli lahan yang telah dibebaskannya.
What Next ?
Masalah sengketa Meruya Selatan memang menimbulkan rasa masygul bagi siapapun yang masih berharap pada tegaknya keadilan di negeri ini. Dukungan dari berbagai pihak kepada warga Meruya Selatan setidaknya telah menunjukkan adanya solidaritas kepada warga agar tetap memperoleh haknya terhadap tanah yang dimilikinya secara sah yang diwakili oleh sebuah sertifikat yang kekuatannya didukung Undang-undang bahkan Undang-undang Dasar negeri ini.
Sengketa Meruya memberikan pertanda pada kita betapa krusialnya persoalan pertanahan temasuk di Ibu kota Jakarta ini. Pemerintah tentu perlu memberikan jalan tengah yang mengakomodir secara bijak kepentingan berbagai pihak yang terlibat. Untuk kepastian hukum dan wujud keberpihakan kepada rakyat, sertifikat warga Meruya itu tidak usah diutak-atik. Namun begitu, Portanigra pun harus mendapatkan hak mereka kembali dalam bentuk kompensasi sebesar tanahnya yang hilang. Tanggung jawab kompensasi itu ada pada negara, yang telah berbuat kesalahan mengeluarkan dua kepemilikan diatas satu tanah.
Jika eksekusi ini tetap dilaksanakan akan berdampak pada situasi ketidakpastian hukum karena amburadulnya manajemen pemerintahan dan tidak tertibnya administrasi pertanahan. Hal ini tentu akan mempengaruhi iklim usaha, karena pelaku usaha akan merasa was-was untuk mendirikan usaha di Indonesia karena situasi hukum yang tidak pasti. Selain itu, potensi munculnya gejolak sosial dalam masyarakat akan tinggi dalam situasi yang penuh ketidakpastian hukum. Lembaga hukum seperti PN dan MA akan dipandang sebagai pihak yang tidak mempunyai kewibawaan hukum karena tidak mampu memberikan jaminan kepastian hukum. Selanjutnya pada pemerintah akan kehilangan kepercayaan dari rakyannya sendiri.
Belajar dari Meruya Selatan, perlu adanya pembenahan sistem manajemen dan administrasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat dalam kasus sengketa tanah Meruya Selatan ini. Sudah saatnya pihak Pemda menata kembali paradigma mental jajarannya agar tak menjadikan urusan tanah sebagai peluang untuk mencari keuntungan pribadi di atas penderitaan rakyat banyak. Sebuah sistem yang transparan dalam proses perizinan pertanahan menjadi keharusan jika kita ingin membenahi masalah pertanahan di negri ini.
* sumber
*Copyright : Diperbolehkan mengutip keseluruhan atau sebahagian dari isi dokumen ini dengan atau tanpa ijin penulis dengan tetap menyajikan kredit penulis.
0Awesome Comments!