Meruya -Potret buram pertanahan Indonesia- Bag 2


Jika dilihat lebih dalam terdapat beberapa kejanggalan dalam kasus ini.

Pertama, bagaimana mungkin BPN dapat mengeluarkan sertifikat tanah pada periode 1997-2001 untuk tanah Meruya Selatan, padahal saat itu tanah sengketa tersebut telah diletakkan sita jaminan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sita jaminan itu sendiri tentu sudah diketahui pula oleh BPN. Tidak mungkin pengumuman sita jaminan tidak ditembuskan ke BPN.

Namun, BPN Jakarta Barat sendiri mempertanyakan status tanah yang dimiliki PT Portanigra. Sebab, batas kepemilikan tanah yang berada di Kelurahan Meruya Selatan, Jakarta Barat, itu tidak jelas. Kepala BPN Jakarta Barat Roli Irawan menyampaikan hal itu seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di gedung DPR, Rabu (16/05).

Menurut dia, meski PT Portanigra mengaku sudah mendaftarkan surat sita jaminan tahun 1997 ke kantor BPN Jakarta Barat, setelah diperiksa dalam dalam buku pendaftaran administrasi pertanahan tidak terdapat pendaftaran sita tanah atas nama PT Portanigra yang bertempat di Kelurahan Meruya Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. “Sita jaminan tahun 1997 dinyatakan tidak sah dan tidak berguna oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan juga Pengadilan Tinggi Jakarta. Baru di MA saja dia menang,” kata Roli. Roli Irawan menegaskan, pertimbangan dari majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta adalah tidak terdaftarnya sita jaminan. Karena dalam berita acara telah disampaikan adanya pihak ketiga, juga banyaknya bangunan umum yang telah berdiri di sana.


Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan kasus sengketa tanah Meruya Selatan harus dilihat dalam kaitannya dengan hak tanah. Hak tanah itu dibagi dalam dua kelompok, pertama tanah-tanah yang sudah terdaftar menurut UU Pertanahan dan kedua, yang belum terdaftar. "Kalau yang terdaftar semua bisa kita amankan, tetapi harus kita ihat dalam konteks ini banyak yang terdaftar di desa - desa dan ini biasanya sebelum tahun 1980-an," katanya. Menjawab pertanyaan wartawan usai rapat kabinet terbatas yang membahas masalah reformasi agraria di Kantor Kepresidenan Jakarta, ia mengatakan tidak ada sertifikat ganda dalam kasus Meruya karena selama ini tidak ada gugatan soal itu. Ia juga menjamin keabsahan pemilik sertifikat tanah di Meruya Selatan Jakarta yang berada di lahan sengketa dengan PT Portanigra dan dapat dipertanggungjawabkan serta dijamin dalam UU.

Kedua, bagaimana mungkin tanah yang telah dibebaskan oleh PT Portanigra dapat dijual kembali oleh Juhri dkk menggunakan girik yang sama untuk menjadi sertifikas tanah? Karena girik aslinya tentu sudah dipegang oleh PT Portanigra dan girik palsu sudah dimusnahkan. Tentu perlu kita cermati adanya kemungkinan diterbitkannya girik palsu kembali atau girik palsu yang seharusnya sudah dimusnahkan tidak benar-benar dimusnahkan saat itu, atau dimanfaatkan oleh oknum tertentu?

Menurut warga Meruya, 164 girik yang diakui Portanigra sebagai miliknya itu tidak sah. ”Girik-girik itu tak tercatat di buku tanah kelurahan,” kata Fransisca Romana, kuasa hukum warga. Sebagian surat tanah yang dipegang Portanigra ternyata bukan girik. ”Yang mereka pegang adalah kuitansi iuran pembangunan daerah,” ujarnya. Pada masa lalu, IPEDA atau disebut juga IURAN RETRISBUSI DAERAH (IREDA) itu sama seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Fakta serupa juga terungkap dalam pertemuan antara Komisi A DPRD DKI Jakarta dan PT Portanigra di DPRD DKI Jakarta, Selasa (15/5). Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Ahmad Suaedy mengatakan PT Portanigra tidak pernah merampungkan proses administrasi usai melunasi pembelian tanah sehingga surat persetujuan prinsip pembebasan lahan (SP3L) tidak pernah diterbitkan untuk PT Portanigra dan hanya memiliki kuitansi pembelian tanah tapi tidak mengantongi akte jual beli tanah tersebut. "Mereka cuma punya kuitansi yang dikeluarkan camat", katanya. Padahal Camat bukan pejabat penerbit akte tanah.

Meskipun bukan pihak yang bersengketa warga Meruya melalui kuasa hukumnya, Francisca Ramona berusaha melawan putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke PN Jakarta Barat dan telah diterima panitera dengan nomor perkara 170/pdt.G/2007/PN Jakbar. Dasar hukumnya adalah Pasal 195 ayat 6 HIP dan Pasal 378 Staatsblaad 1847 jo 1849 Nomor 63 tentang Reglemen Jakarta Barat dan disertai bukti kepemilikan yang sah atas tanah – tanah yang akan dieksekusi oleh PN Jakbar berupa sertifikat, surat perpetakan, girik, dan perjanjian sewa beli. "Kami minta pembatalan eksekusi. Pasalnya, PT Portanigra bukan subjek hukum sah dalam proses transaksi jual-beli tanah hak milik," katanya. Ia menambahkan, apabila PT. Porta Nigra memang memiliki bukti peralihan hak tanah maka hak tersebut telah hilang dengan sendirinya. Pasalnya, PT. Porta Nigra tidak pernah mengusahakan hak – hak atas tanah tersebut. “Seharusnya PT. Porta Nigra mematok lahan yang diklaim yang sudah dibeli sejak tahun 1972.” sementara itu pihak Pemprov DKI Jakarta sendiri juga telah mendaftarkan gugatan perlawanan hukum atas keputusan Mahkamah Agung (14/5/07). Pendaftaran gugatan tersebut dilakukan oleh Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Jornal Siahaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan nomor 168/PDT/G/2007. (sumber : Kompas 12/05/07).

Menurut Franciska, PT. Portanigra hanya menjelaskan luas wilayah yang akan dieksekusi, yaitu seluas 44 hektare, tetapi batasannya tidak jelas. Hal senada juga dikemukakan oleh Kepala Biro Hukum DKI Jakarta, "Putusan MA dan Penetapan Eksekusi dari PN Jakarta Barat cacat hukum. MA tidak menyebutkan secara pasti letak dan batas tanah yang dipersengketakan. Sedangkan PN Jakarta Barat dalam penetapan eksekusi menentukan letak dan batas wilayah berdasarkan girik yang dimiliki PT Portanigra," katanya.

Padahal, berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria, badan hukum berbentuk perseroan terbatas (PT) secara hukum dilarang memiliki bidang tanah dengan bukti kepemilikan girik. Bukti girik hanya dapat dimiliki Warga Negara Indonesia (WNI) per orangan. "Selain itu, badan peradilan tidak pernah memanggil pihak ketiga, baik Pemprov DKI maupun warga, saat persidangan terkait pembuktian kasus sengketa tanah ini," kata Journal. Berdasarkan Undang-undang Agraria juga telah diketahui bahwa sertifikat merupakan bukti kepemilikan tertinggi dan pemilik tanah kosong dan bangunan di Meruya Selatan (Karoops Polda Metro Jaya Kombes Pol Irawan Dahlan).

Demi memperoleh dukungan kepastian hukum itu juga, warga bertemu dengan Komisi III DPR Selasa (15/5) untuk membahas seputar keluarnya putusan MA, yang dinilai janggal dan tidak logis. Menurut Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Selasa pagi, terdapat beberapa kejanggalan dalam proses penetapan putusan oleh MA. "Dalih Portanigra untuk tidak mengeksekusi tanah warga pun, sejak keluarnya putusan MA juga tidak logis. Azas hukum agraria adalah, bagi pihak yang menelantarkan tanah bisa dikuasai negara kembali, untuk digunakan bagi kepentingan rakyat," ujarnya.

Selain ini juga timbul dugaan bahwa Putusan kasasi Mahkamah Agung adalah palsu. Hal itu lantaran adanya salinan putusan yang diterima DPR dan PT Porta Nigra berbeda, yang dipegang DPR tidak dibubuhi tandatangan Paulus E Lotulung (Ketua Muda MA bidang TUN Paulus E Lotulung). “Mereka (PT Porta Nigra) katanya mendapatkan salinan putusan yang berbeda dengan yang kita terima,” kata Sekretaris FMMS, Johanes, Rabu. Diduga, putusan yang berbeda itu pada perkara yang bernomor 2863 k/Pdt/1999. Perkara itu ditangani majelis kasasi yang diketuai Emin Aminah Achadiat dengan Chairani A Wani dan Benyamin Mangkoedilaga sebagai anggota majelis. Dalam perkara itu, MA memenangkan gugatan yang diajukan PT Porta Nigra atas tanah seluas sekitar 15 hektar di Meruya Selatan. MA pun menyatakan tanah di Meruya itu harus dikembalikan kepada PT Portanigra tanpa ada bangunan di atasnya. Johanes menjelaskan, perbedaan putusan itu terjadi pada tanda tangan yang dibubuhi pada akhir putusan. “Perbedaannya, putusan yang satu ditandatangani dan yang satunya tidak ditandatangani,” jelasnya

Sebelumnya, anggota Komisi II sudah mempertanyakan mengapa Portanigra baru melakukan eksekusi pada 2007, padahal perusahaan itu telah memenangkan kasus lebih dari 10 tahun lalu. Menurut penasihat hukum PT Portranigra,Yan Djuanda, kliennya beranggapan baru sekarang waktu yang tepat, karena pemerintah dan DPR saat ini telah berkomitmen pada penegakan hukum. Alasan Yan Djuanda itu dianggap aneh oleh puluhan warga. Karena jika PT Portanigra tidak percaya pada komitmen penegakan hukum sebelum 2007, kemenangan Portanigra layak dipertanyakan. Pasalnya, Portanigra telah memenangkan kasus gugatan perdata dan pidana di PN Jakarta Barat, Pengadilan Tinggi DKI, dan Mahkamah Agung, bahkan sebelum 2001.

Dari semua kejanggalan ini muncul kecurigaan, ada “permainan” antara oknum aparat pemerintahan dengan pihak ketiga sehingga mempermulus kongkalikong tersebut dan berhasil menipu ribuan warga Meruya. Kecurigaan ini pun sempat dilontarkan oleh Benjamin Mangkoedilaga, mantan Hakim Agung yang memutus kasus Meruya tersebut. “Rakyat harus tenang, tidak usah diutak atik. Yang dipermasalahkan adalah mereka yang mengeluarkan sertifikat. Tanah yang disita oleh pengadilan tetapi tetap mendapat sertifikat dari BPN. Itu inti persoalannya,” kata Benjamin.

Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigra ke polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara yang dianggab memberikan keterangan palsu di bawah sumpah. Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut di Duta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama Portanigra.

Dari tiga terpidana, kini cuma Haji Djuhri yang sudah berusia 80 tahun dan pikun yang ikut melawan. Sebab, Yahya sudah meninggal dan Tugono pindah entah ke mana. Menurut Djunaedi, kuasa hukum Djuhri, kerugian yang dialami Portanigra sudah dipulihkan dengan eksekusi pidana kliennya. ”Haji Djuhri sudah dihukum dan membayar kerugian. Jadi apa alasan menuntut ganti rugi?” ujar Djunaedi.

Sebagai pihak tergugat, Djuhri akan mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan menyertakan tiga bukti baru atau novum. Tiga novum itu adalah daftar 51 poin kesalahan salinan keputusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dari Kepolisian Daerah Metro Jaya tanggal 31 Desember 1991, serta surat pernyataan utang-piutang antara Djuhri dan Portanigra. ”Jadi ada kesilapan hukum oleh hakim kasasi saat mengambil keputusan,” kata Djunaedi.

Dalam SP3 Polda Metro Jaya dinyatakan bahwa kasus pidana yang dipersangkakan Portanigra atas Djuhri tidak cukup bukti dan penyidikan dihentikan demi hukum. Sedangkan dalam surat utang-piutang diterangkan bahwa utang Djuhri sebesar Rp 37.372.500 kepada Portanigra akan dibayarnya dengan tanah di Kampung Pondok Kacang, Kelurahan Pondok Aren, Ciledug, Tangerang, dan di Tambun, Bekasi, Jawa Barat. Surat tersebut ditandatangani oleh Djuhri, Ir Purwanto Rachmat dari Portanigra, serta tiga orang saksi, yang dua di antaranya bernama Beni dan Mat Alih.

Namun Yan Djuanda Saputra, kuasa hukum Portanigra, menepis upaya peninjauan kembali tersebut. ”Keputusan pidana dan perdata sudah in kracht (berkekuatan tetap). Kenapa mereka baru ribut sekarang?” katanya. Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencari solusi untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam sengketa tanah tersebut. ”Kami akan taat apa pun keputusan DPR nanti,” kata Yan Djuanda.

* sumber