"Kebahagiaan adalah kualitas perasaan Anda,
yang seharusnya berada dalam kekuasaan penuh Anda untuk membangunnya.
Jika Anda ikhlas menguatkan diri,
Anda akan mengubah apa pun menjadi pemungkin bagi pemenuhan hak Anda
untuk menjadi pribadi yang berbahagia.
Maka putuskanlah.. Berbahagia!" Mario Teguh
yang seharusnya berada dalam kekuasaan penuh Anda untuk membangunnya.
Jika Anda ikhlas menguatkan diri,
Anda akan mengubah apa pun menjadi pemungkin bagi pemenuhan hak Anda
untuk menjadi pribadi yang berbahagia.
Maka putuskanlah.. Berbahagia!" Mario Teguh
Malam tadi aku bermimpi lagi. Bedanya, mimpi itu kuingat jelas hingga penghujung hari. Mungkin karena mimpi ini, adalah tentang mimpiku. Aku bergegas ke kantor dan memulai pagi dengan ingatan yang masih kuat atas itu. Tapi aku tidak sedang membicarakan itu saat ini. Hanya saja, tiba – tiba aku diingatkan apa yang harusnya tetap kusyukuri hingga detik ini. Dan tiba – tiba diantara demikiannya perasaan terbuang, jenuh dan tidak berdaya dalam diriku, aku diingatkan bahwa menjadi bahagia atau tidak itu adalah pilihan, perbedaan yang begitu jelas, tapi sering kali kita membuat itu semua berada di alam bawah sadar, hanya sekedar berlari dari fakta bahwa keputusan yang diambil adalah : tidak.
Sepulang bekerja dan berbenah, aku membuka – buka lagi lemari buku, diantaranya ada majalah kusam yang hampir saja kuputuskan untuk dibuang. Tapi aku lalu membacanya, dan diantara hanyutnya aku membaca baris demi baris itu, aku teringat saat beberapa tahun lalu, ketika aku membuat keputusan untuk memilih salah satu jurusan paling diminati di perguruan tinggi terkemuka di negri ini. Saat itu, aku begitu gelisah hingga aku tak bisa tidur di hari ketika batas pengembalian formulir telah tiba. Tapi lalu akhirnya aku putusan untuk memilih, walaupun itu adalah pilihan yang paling kutakuti, dan walaupun pada akhirnya aku gagal. Tapi aku tidak menyesal, hingga saat ini. Aku yakin, kegagalan terbesar bukanlah kegagalan, tapi ketakutan untuk gagal itu sendiri.
Sepulang bekerja dan berbenah, aku membuka – buka lagi lemari buku, diantaranya ada majalah kusam yang hampir saja kuputuskan untuk dibuang. Tapi aku lalu membacanya, dan diantara hanyutnya aku membaca baris demi baris itu, aku teringat saat beberapa tahun lalu, ketika aku membuat keputusan untuk memilih salah satu jurusan paling diminati di perguruan tinggi terkemuka di negri ini. Saat itu, aku begitu gelisah hingga aku tak bisa tidur di hari ketika batas pengembalian formulir telah tiba. Tapi lalu akhirnya aku putusan untuk memilih, walaupun itu adalah pilihan yang paling kutakuti, dan walaupun pada akhirnya aku gagal. Tapi aku tidak menyesal, hingga saat ini. Aku yakin, kegagalan terbesar bukanlah kegagalan, tapi ketakutan untuk gagal itu sendiri.
Aku kembali pada tulisan itu, sejenak aku diingatkan kembali tentang apa yang harusnya tetap kusyukuri, juga apa yang seharusnya tetap kuperjuangkan dalam hidupku. Siapapun yang ingin menjadi pribadi yang lebih baik, harus menyadari bahwa kesulitan demi kesulitan hanyalah salah satu fase perjalanan dan kesempatan untuk menempa diri, agar siap menerima sesuatu yang lebih besar.
Tulisan itu, adalah wawancara Dieter Lamle’ (Kepala Bagian Pers Kedubes Repubik Federasi Jerman di Jakarta) pada BJ Habibie, untuk SCALA edisi 1998, diantara masa singkat beliau ketika menjadi presiden republik ini. Berikut salah satu kutipannya..
DL : Apakah studi Bapak di jerman memberi keuntungan dalam profesi Bapak ? apakah ceritanya akan lain, seandainya Bapak studi di Amerika Serikat atau di Australia ?
Habibie :
Saya tidak dapat membuat perbandingan dengan Amerika Serikat dan Australia, oleh karena saya tidak pernah tinggal di sana. Tapi satu hal saya tahu pasti : semangat dan pendidikan jerman telah memberi banyak hal pada saya, sehingga saya dapat seperti saya sekarang ini.
Pengertian hidup saya sebagai seorang cendekiawan, sikap saya terhadap keadilan dan demokrasi, nilai - nilai etis saya sangat dipengaruhi oleh semangat jerman. Saya seorang yang taat beragama, saya seorang muslim. Ada 25 Nabi, Nabi ang terakhir dari ke-25 Nabi itu adalah Muhammad, yang ke-24 adalah Jesus Kristus. Saya harus menghormati semua nabi dan menurut apa yang mereka katakan. Dan kalau saya membuat itu menjadi dasar piikiran, maka saya akan mempunyai penyebut yang sama dengan anda, artinya nilai - nilai saya untuk etika moral dan nilai-nilai lainnya yang penting untuk hidup. Oleh karena kita mempunya 24 penyebut yang sama yang tentu mirip, maka saya tidak pernah mempunyai masalah dengan orang - orang Eropa, dengan orang - orang Kristen.
Saya ingin bercerita kepada Anda : saya pergi ke Jerman ketika saya berumur 18. Saya dididik taat beragama. Saya sering merasa rindu pada orang tua dan keluarga, saya tidak pernah memperoleh beaiswa kecuali dari Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD), tapi baru pada tahun - tahun terakhir penulisan disertasi doktor, sehingga saya harus membiayai sendiri. Orang tua saya yang membiayai, saya bahkan tidak dapat menerima beasiswa dari pemerintah Indonesia, yang waktu itu juga sudah ada.
Ada saat - saat sulit pada masa itu bagi saya dan kadang - kadang uang saya waktu itu tidak cukup menelepon ibu atau saudara - saudara saya. Bahkan kadang - kadang karena uang belanja saya tidak datang pada waktunya, saya harus sarapan pagi hanya dengan roti dan susu saja. Mensa (kantin mahasiswa) bagi saya waktu itu adalah suatu kemewahan. Saya mempunyai tempat kost yang sering disebut "Studentenbude" di jalan Frankenberger Str. 12, di Keluarga Neuwald. Di sana tidak ada pemanas ruangan, tidak ada kamar mandi, hanya ada wastafel. Sekarang keadaannya memang sudah jauh lebih baik. Tapi dulu pada tahun 50-an, Jerman masih belum begitu maju seperti sekarang. Oleh karena tidak adanya kamar mandi, maka saya hanya dua kali seminggu pergi mandi : ke kolam renang umum. Dan karena di kamar tidak ada pemanas ruangan, ada tahu tidak dimana saya belajar ? di perpustakaan, karena disana cukup panas.
Akan tetapi saya tidak pernah merasa sedih, saya tidak pernah merasa kurang senang, saya tidak pernah merasa iri; saya bersyukur kepada Allah SWT, bahwa saya masih boleh hidup dan dapat kuliah. kondisi kehidupan yang sulit itu telah menempa saya, seorang yang bersyukur kepada Allah SWT.
Dan ada tahu tidak apa yang saya alami ? Kadang - kadang saya rindu keluarga dan kampung halaman, padahal saya dalam kesulitan karena tidak punya uang lagi, sepatu sudah berlubang - lubang, sama sekali sudah tidak punya uang untuk memberli karcis kerta api atau trem. Dalam keadaan seperti itu, saya harus berjalan kaki pulang ke pondokan, saya hanya memegang sebuah apel di tangan untuk makan malam, saya sangat kurus waktu itu.
Anda tahu tidak, pada saat-saat seperti itu saya sangat mendambakan mendekatkan diri pada Allah SWt. Tapi disana tidak ada mesjid, sehingga sulit bagi saya. Tapi anda tahu apa yang saya lakukan ? saya lalu pergi ke sebuah gereja, saya duduk paling akhir dan saya berkata pada diri sendiri, hanya ada satu Allah, "Bolehkah saya berdoa kepadamu?". Saya mencari jalan. Saya adalah seorang pemuda yang bahagia.
SCALA, 1998.
0Awesome Comments!