Here I am. This is me.
There's no where else on earth I'd rather be .
..
It’s a new world. It’s a new start.
It's a live with the beating of young heart.
It's a new day. it's a new plan.
I've been waiting for you.
Here I am..*
Di hari – hari seperti ini, ketika umurku beranjak, aku tiba – tiba teringat sepotong memori lebih dari 20 tahun lalu, ketika seseorang datang kerumah kami, dari Bandung, menyodorkan oleh – oleh untukku, kakak, dan abang, masing – masing sebuah coklat, yang -dalam ingatanku- masih merupakan coklat paling enak dan besar yang pernah diberikan padaku. Beliau, yang terus berada dalam ingatan masa kecilku itulah, yang bahkan sudah sedikit lupa aku wajahnya dan belum pernah kutemui lagi, mulanya kukira sebagai pilot pesawat, ternyata kemudian baru kuketahui adalah insinyur pesawat terbang, adalah om Tata, adik bungsu Mama kami. Aku bahkan saat itu tidak cukup mengerti apa itu insinyur. Pemahamanku hanya sebatas saat ayahku mengatakan, "adek belajar ya nak, supaya punya ilmu seperti om Tata dan Habibie, bikin pesawat terbang". Dengan memori dan pemahaman sederhana itu jugalah, keluguan masa kecilku sempat meminta pada Yang menciptakan, "Aku ingin belajar jadi insinyur pesawat seperti om tata dan habibie di jerman". Sesederhana itu, aku bahkan tidak terpikirkan bagaimana permintaaan ini akan terwujud ketika ia pertama kali terucapkan. Ya, Adalah om Tata, yang menghubungkanku pertama kali dengan kata Jerman dan Habibie.
Saat kuberanikan menyampaikan angan itu sebagai doa agar ia menjadi cita – cita, dalam pikiranku hanya ada kata – kata yang lalu mengarahkan langkahku... uhm, bukan langkah mungkin tepatnya, tapi kayuhan sepeda... Ok, kayuhan sepeda tentu bukan berarti bersepeda ke jerman, tapi menemaniku belajar bahasa jerman ke Goethe Institute di Bandung. Rencana ini berarti membutuhkan waktu kira – kira 2 jam ditempuh bersepeda dari kampusku saat itu di Jl. Dayeuh Kolot ke Jl. Marthadinata agar tiba cukup waktu (termasuk mandi kilat di toilet GI, dan menikmati panganan kecil kafetaria di taman untuk sekedar mengembalikan energi) sebelum kelas grunstuffe / dasar setiap Senin – Jum’at dari pukul 04.45 sore hingga 08.00 malam, selama 1 semester itu dimulai.
Aku ingat sekali, ketika memilih sepeda pertamaku itu, merah warnanya, yang bukan karena aku suka warna merah, tapi karena memang kebetulan itu yang ukuran dan harganya cocok dengan anggaranku yang sedikit dari tabungan bulanan sebagai mahasiswa kere. Aku ingat, kuniatkan saat itu, sepeda ini yang akan menjadi pengantarku ke jerman, sebelum akhirnya… hilang dicuri disiang hari ketika orang-orang sedang shalat Jum’at, 1 hari menjelang ulang tahunku yang ke-23. Guru kami, yang 14 orang dalam kelas itu, Frau Suci, adalah yang pertama kali mengajarkan padaku bahasa dan kebudayaan Jerman. “Guten Tag, wie geht es Ihnen ?”, begitu kira – kira dengan hangatnya beliau menyapa kami disore itu. Kelak, 6 orang dari kami bersepakat untuk lalu belajar secara private di rumah beliau setiap hari Senin hingga Jumat, untuk persiapan mengikuti ujian ZD, yang merupakan syarat mendaftar perguruan tinggi di Jerman.
Tapi saat itu, aku bahkan masih juga belum bisa memutuskan hendak melanjutkan kuliah ke universitas apa, dan bagaimana mewujudkannya. Saat itu pertimbanganku sederhana saja : Pertama, aku bahkan belum lulus sarjana, dan masih berkutat dengan tugas akhir; Kedua, mendaftar di program studi yang masih menggunakan bahasa jerman pada umumnya -saat itu- masih belum dikenai biaya, atau kalaupun ada, nominalnya lebih kecil dibandingkan dengan biaya untuk kelas internasional (menggunakan bahasa inggris). Lagipula, seperti kata pak Habibie, menguasai bahasa jerman untuk kuliah di jerman tentu akan banyak manfaatnya. Bahasa ini juga banyak digunakan di Eropa, tidak saja di Jerman. Yang penting pegang ZD dulu ditanganlah! Begitu pertimbangan sederhanaku.
Namun, disanalah perjalananku menuju pada arah lain, karena beberapa bulan setelahnya aku putuskan untuk tidak lagi mengikuti kelas bahasa jerman itu. Aku ingat, waktu itu pertanyaan sederhana Frau Suci-lah yang membuatku mempertanyakan ulang konsep cita – citaku, “Mengapa harus Jerman ?”. Nasipku memang tidak seperti Ikal, yang beruntung telah dikenalkan dengan Sorbon-nya semenjak belia, sehingga ia tau benar apa yang akan diraihnya dan kemana ia akan menuju. Sedangkan bagiku, pertanyaan itu tidak mampu kujawab, karena aku tidak punya jawabannya. Pertanyaan itu juga yang menyadarkanku, tidak ada orang yang sanggup duduk di 2 apalagi 3 kursi dalam waktu bersamaan kecuali terjatuh dari semuanya. Aku masih bergulat dengan tugas akhir, ditambah amanah lain yang diberikan padaku, dan lalu mengikuti persiapan ujian ZD pula. Dan kenyataannya memang, aku tertatih – tatih menyelesaikan semuanya, hingga akhirnya kuambil keputusan, ok..stop here, I need to be focus. Aku berhenti dari kursus bahasa jerman, dan tidak pernah mengikuti ujian ZD itu.
Setelah kuselesaikan tugas akhir, aku siap untuk melanjutkan lagi salah satu cita – cita yang masih tertinggal. Aku ingat, ketika akan memulainya, aku mengajukan proposal resmi pada ayahku. Resmi bukan berarti mengajukan buku dan semacamnya, tapi membicarakan niatku disuatu sore dibulan Syawal. Menakjubkan, setelah beberapa poin diskusi waktu itu, ayahku yang sedang menyetir itupun sampai pada pertanyaan yang sama, “Mengapa harus Jerman?”. Aku tercenung beberapa saat tidak mampu beragumentasi, karena aku tidak punya jawabannya dan bahkan hingga saat ini pun aku tak punya jawabannya. Jawaban atas pertanyaan sederhana yang harusnya sudah kumiliki sebelum berargumentasi mengenai hal – hal yang lebih spesifik dan rumit.
Dan nasip berkata lain, saat ini hampir 2 tahun setelahnya, dan puluhan tahun sejak aku berkata “Aku ingin belajar jadi insinyur pesawat seperti om tata dan habibie di jerman”, aku bahkan tidak pernah sekalipun mengirimkan pendaftaran ke satu universitas-pun di negeri itu dan tidak pernah belajar bagaimana membuat pesawat, seperti angan masa kecilku itu. Mengherankan bagiku, bagaimana mimpi yang begitu lama terpendam dalam otakku ini, ternyata bisa dibalikkan perlahan – lahan tanpa kusadari. Allah yang Maha menguasai hati ini, Maha mengetahui segala rahasia hidup. Pertanyaan yang sama dari ayah dan guruku itulah, yang pada akhirnya dalam semua usahaku untuk melanjutkan kuliah -dari mencari informasi, mendaftar, ditolak, mendaftar lagi, ditolak lagi- semuanya, tidak pernah sekalipun mengantarkanku ke Jerman, tapi jauh ke utara, menyebrang ke Skandinavia. Nah, untuk yang satu itu, aku sudah punya jawabannya bahkan sebelum aku bertanya. Aku ingin belajar satu – satunya dari sedikit ilmu yang benar – benar ingin kupelajari: komunikasi bergerak.
Awalnya aku ingin melanjutkan ke program Erasmus Mundus NordSecMob, yang menurut yang kubaca memiliki beberapa kursi beasiswa, dan belum ada pelajar Indonesia yang pernah lolos seleksi sejak program ini dibuka 2007 lalu. Sesuai dengan konsep program, yang memungkinkan mahasiwa untuk kuliah di minimal 2 negara berbeda, maka setiap pendaftar diminta untuk memilih skema pendidikanya sendiri. Waktu itu hanya ada 2 pilihanku, pilihan pertama : Finlandia di tahun pertama, Swedia di tahun kedua, atau pilihan kedua: Swedia di tahun pertama, Finlandia di tahun kedua. Intinya sama, Finlandia dan Swedia. Yap, dan pilihan itu entah mengapa, padahal ada beberapa negara Skandinavia lain, hanya jatuh ke Finlandia dan Swedia, the Land of Viking. Dan perjalanan nasip tidak berhenti melucu sampai disitu, kenyataannya kedutaan kedua negara ini di Jakarta juga berada dilantai gedung yang sama dan bersebelahan pula, yang kelak baru kusadari saat melangkahkan kaki ke kedutaan untuk mengikuti phone interview untuk seleksi masuk salah satu perguruan tingggi di Finlandia tengah.
Pilihan ini tidak kubuat dengan aspek melankolik, tapi setelah melihat kemana spesifikasi dan kualitas setiap universitas, serta kenyataan bahwa melanjutkan pendidikan ke kedua negara tersebut -hingga saat pilihan itu kubuat- masih ditanggung oleh negara alias tidak dipungut biaya, yang artinya bisa berfokus bagaimana menutupi biaya hidup. Pilihan ke Finlandia, berarti melanjutkan kuliah di TKK (sekarang Aalto University - School of Science and Technology), yang bersebelahan dengan –salah satunya- HQ Nokia di Espoo dengan program Service and Security-nya, sedangkan pilihan ke Swedia, berarti melanjutkan kuliah di KTH, yang bersebelahan dengan –salah satunya- HQ Ericsson di Kista dengan program ICT and Enterpreneurship-nya (sekarang menjadi Communication Systems). Keduanya, sama – sama berada di urban area ibukota, Helsinki dan Stockholm..jadi hampir mirip – mirip seperti konsep Dayeuh Kolot untuk ibukotanya, Jawa barat, dengan cita – cita HighTech Center-nya, tempat alamamaterku berada *amin.
Tapi, arah nasip tidak pernah membawaku menuju keduanya sekaligus. Kenyataannya, aku tidak pernah lolos seleksi program itu, setelah ditolak 2 kali, pertama karena 2 alasan : satu, dewan seleksi tidak mengenal yang namanya S1 Ekstensi, yang merupakan jalur pendidikan yang kuambil setelah lulus D3. Kedua, saat itu almamaterku yang sedang menuju world class university entah mengapa belum tercantum dalam daftar universitas dunia versi UNESCO. Padahal, salah satu syarat dapat lolos tahap administrasi adalah hal itu. Setahun setelahnya, dipercobaan kedua, membuatku mengajukan penjelasan terlebih dulu ke dewan seleksi di Finlandia, sehubungan dengan konsep S1 Ekstensi ini, dan untungnya, saat itu ITTELKOM sudah terdaftar didalam UNESCO, sehingga aku lolos tahap administrasi. Alhamdulillah..beberapa bulan setelahnya, sekitar Januari 2010 itu, keluar juga pengumuman hasil seleksi program ini : DITOLAK, kali ini dengan alasan yang jauuuh lebih banyak dari penolakan yang pertama, yang intinya, aku termasuk 1 dari 292 kandidat yang tidak termasuk dalam beberapa orang yang beruntung. As simple as that... dan kedua kegagalan itu tidak dan tidak akan pernah kusesali. Tidak perlu bersedih terlalu lama. Kegagalan ini hanya akan menambah kearifkan bagi karakterku dan mengajarkan untuk menghargai arti keberhasilan.
Belajar dari itu jugalah, bersamaan dengan percobaan kedua, aku mempersiapkan beberapa rencana cadangan sekiranya pilihan pertama itu gagal: Berkompromi !! Aku persiapkan diri dan lebih banyak dokumen, untuk mendaftar lagi ke 4 program lain : 1 di universitas di Finlandia tengah, 1 di universitas di Swedia utara, 1 ke KTH, dan 1 ke TKK. Keempatnya berfokus pada komunikasi bergerak, dengan beberapa keunikannya masing – masing. Program master di Finlandia tengah menawarkan tambahan pada aspek bussiness, masing – masing program master KTH dan TKK adalah “setengah” dari program NordSecMob. Setengah, karena NordSecMob adalah join program dari minimal 2 universitas berbeda. “Jadi, kalaupun aku tidak dapat keduanya, setidak nya dapat salah satunya”, begitu yang menjadi pertimbanganku. Program di TKK menawarkan tambahan aspek security, sedangkan di KTH dengan entrepreneurship-nya (kelak, dengan penambahan spesialisasi juga pada wireless network)
Pendaftaran dan pengiriman dokumen admissi ke universitas di Swedia –untungnya- sudah terpusat (Studera), jadi cukup mengirimkan 1 paket dokumen untuk mendaftar ke berbagai program studi dan universitas, begitu juga ke universitas di Finlandia (University Admission to Finland), yang berarti akan sangat menghemat biaya, khususnya biaya pengiriman dokumen. Namun, TKK dan beberapa universitas lain hingga saat itu belum termasuk didalamnya, yang artinya harus mengirimkan dokumen terpisah. Sehingga, hanya 3 dari 4 rencana itu yang kulakukan, karena aku tidak pernah mendaftar dan mengirimkan dokumen apapun lagi ke TKK. Dan alasannya –kubuat menjadi- sederhana saja, sudah tidak ada uang lagi untuk mengirimkan dokumen..well, kalaulah boleh jujur, memang ada sedikit alasan melankolik didalamnya, setelah 2 kali ditolak.
Tapi, aku berjanji pada diriku sendiri, sejak dari awal, ketika aku masih mengumpulkan informasi tentang universitas ini, kelak aku akan bertemu dengan Prof. Antti, Dumbledore-nya program itu, memperkenal diri dan berkata, “Profesor, my name is Laili Aidi, I was not admitted in your program several years ago, and now I’m very lucky to see you and still hope I can get another opportunity to learn with you”. Amin.
Ditengah proses itu pula, aku mencoba peluang beasiswa lain, ikut dalam seleksi beasiswa luar negri Kominfo. Untuk itu jugalah, aku ikuti tes TPA Bappenas di almamaterku di Bandung, yang menjadi salah satu syarat beasiswa. Menjadi menarik bagiku, yang baru kusadari kelak setelahnya adalah, tanpa kusadari hampir semua informasi atas hasil dalam proses ini, kabar keberhasilan ataupun kegagalan, kudapatkan di hari puasa sunah, Senin atau Kamis, dan umumnya ba’da Ashar. Subahanallah... Disanalah aku, beberapa bulan setelahnya mendapat kabar kelulusan di program master di Finlandia pada kamis, ba’da magrip itu. Namun, ditengah euphoria, sesuai rencana, aku tetap putuskan akan menunggu hasil seleksi di Swedia sebelum membuat keputusan apapun.
Seminggu setelah itu, kudapatkan kabar lagi, bahwa aku termasuk dari 82 orang yang lolos ke tahap kedua seleksi beasiswa kominfo. Hingga senin pagi itu, aku berada di kantor kementrian, ketika dipanggil menghadap 3 orang pewawancara. Entah mengapa saat itu tidak ada sedikitpun kekhawatiran padaku, mungkin karena beberapa hari sebelumnya, aku sudah menghadapi pula sesi interview yang sama walaupun berbeda bentuk, dan juga dengan tujuan berbeda pula : seleksi tahap dua master program di Finlandia tengah. Lagipula, menjadi khawatir atau tidak, tidak ada manfaatnya sama sekali saat ini, begitu pikirku. Kubuyarkan semua kekhawatiran bahwa aku tidak membawa berkas asli yang diminta oleh panitia seleksi, yang tidak disampaikan pada pengumuman. Ok, sudahlah, mari hadapi satu persatu.
“Selamat pagi”, ucapku menyapa 3 orang pewawancara waktu itu, kesemuanya adalah laki-laki, 2 diantaranya kulihat dari papan namanya, bergelar DR. And here we are… : “kenapa anda layak mendapat beasiswa ini? kenapa anda memilih program studi ini? apa yang ingin anda capai dalam 5 tahun kedepan? kenapa swedia? bisa jelaskan tentang riset anda? mengapa kista? anda sudah menikah? anda berapa umurnya sekarang? tidak takut tinggal di daerah dingin begitu di utara?” and so on... Aku ingat waktu itu aku sempat sampaikan bahwa aku telah diterima di salah satu master program yang menjadi pilihan kedua bagiku, dan sedang menunggu hasil seleksi pilihan pertamaku di swedia, yang merupakan bagian dari aplikasi beasiswa itu. Selama seleksi itu, tidak ada sedikitpun kekhawatiran, dan ya… aku lakukan apa yang terbaik dari apa yang mampu kulakukan.
Apa mau dikata, suratan takdir tidak menuliskan aku mendapatkan beasiswa itu sebagai bagian dari rezki untuk melanjutkan pendidikan, sebuah kabar yang, lagi, kuterima pada Senin, ba’da ashar itu. Seakan godaan untuk menyerah saja tidak berhenti sampai disana, berturut – turut datang kabar bahwa aku lolos seleksi dan mendapat panggilan bekerja di 3 perusahaan sekaligus : di bank milik pemerintah, di perusahaan card system dari prancis, dan di sebuah operator telekomunikasi. Panggilan bekerja setelah tahap seleksi yang melelahkan dan berbulan – bulan, namun kemudian datang disaat seperti ini, kesemuanya dengan tawaran gaji dan fasilitas yang akan memaksa orang yang masih waras berpikir ulang untuk menolak. Tapi siapalah aku ? keputusan sudah dibuat, apapun yang terjadi pasti akan terjadi, tidak peduli apakah itu didalam kendaliku atau tidak. Dan ya, aku menangis, dan memang betul, aku kecewa. Namun tugasku adalah untuk terus berlari, berusaha dengan kemampuan terbaikku, menyelesaikan apa yang sudah aku niatkan untuk dimulai. Aku harus membuat pilihan. Karena, tidak ada seorangpun yang mampu duduk di kursi yang berbeda dalam waktu bersamaan kecuali terjatuh dari semuanya. Sebuah pelajaran berharga yang akan selalu kuingat, dari Frau Suci, guru bahasa jermanku.
Inilah memang garis hidupku. Setidaknya sedikit lebih beruntung dari Harry Potter, tidak sedang mendapatkan kiriman yang ditujukan ke kamar dibawah tangga, ketika seekor burung hantu ajaib membawa surat yang bisa berbicara dari Hogwarts. Dan aku, memang bukan Ikal, yang sanggup memberi hadiah pada orang tuanya, sepucuk admission letter berikut beasiswa-nya dari Sorbon University. Disinilah aku, masih mengejar cita – citaku, mencoba menjadi manusia yang lebih baik, saat beberapa hari setelahnya, seakan mencoba membantuku mengukuhkan keputusan ini, orang tuaku menelpon memberi kabar: “ada kiriman paket baru tiba di rumah untuk adek, dari Stockholm”, surat dengan isi yang sama dengan email yang kuterima 2 minggu sebelumnya. Bagaikan sebuah surat dari Hogwarts bagiku : dari Kungliga Tekniska Högskolan – Royal Institute of Technology, berisi ucapan bahwa aku termasuk dari yang diberi kesempatan untuk dapat belajar disana.
Bukankah bagaimanapun, Allah yang Maha mengetahui dan menguasai jalan hidup ini, selalu hanya memberikan pilihan terbaik untuk menjadi kenyataan hidup? Bukankah ketika Ia mengambil sesuatu, Ia selalu akan mengganti dengan yang lebih baik? Apapun yang akan terjadi, pasti akan terjadi. Semua keberhasilan dan kegagalan, kegembiraan dan kesedihan, kemenangan dan kekalahan ini yang pasti akan selalu kuingat untuk disyukuri, sebagai bagian dari perjalanan hidupku. Pun, hanya akan kujadikan pelajaran berharga, untuk menambah kearifan dan kekuatan bagi karakterku.
Dan... tidak akan ada tempat untuk berbalik, apalagi keraguan. Ya... seperti angku Hatta, Tan Malaka, dan Habibie berpuluh tahun silam... akupun, membuat pilihan. Bismillah..
Al-Kahfi
Catatan dari penghujung Mai.
*Bryan Adams - Here I am