Menyusuri labirin renungan [1]

29 Juni 2007. Dengan bismillah, aku bergantung pada sehelai tali putih tipis 10.5 mili ini..Sesaat yang lalu sebelum melepaskan semua pengaman terakhirku, sempat kutanyakan pada Ayis-Second Man kami pukul berapa saat itu "Sebelas lewat lima menit..", jawabnya singkat. Entah mengapa kutanyakan itu...mungkin berharap angka yang disebutkan adalah urutan angka baik atau sekedar mengingatkan menit-menit terakhir nafasku berhembus -jika aku diijinkan mati saat itu-.
Entah seakan berkonspirasi dengan firasat tak menentu ini, angin dingin terus membelai dan jelas terasa sayup nada gemericik air dikedalaman sana. Gelap celah vertikal dibawah ini perlahan namun pasti mengantarkan denyut kesunyian yang tak terkatakan, bahkan melihat kebawahpun aku tak sanggup..entah mengapa juga lututku sekejab mengiggil dan terasa ringan, merasakan kekosongan gelap dimensi ruang dibawahku. Sebagai Rigging Man dalam penulusuran ini, aku berkewajiban untuk turun pertama kali memasuki lorong gelap ini..yang bahkan belum pernah kumasuki dan tak bisa rasakan kedalamannya.

...
Bandung, 1 Juli 2007. Minggu ini adalah sedikit dari saat melelahkan dalam perjalananku. bagaimana tidak, kami akan segera menyongsong petualangan di kedalam antah barantah perut bumi. Namun kami akan sangat ramai sekali saat itu..dan hampir sebagian besar dari mereka dipastikan akan sangat grogi -atau ketakutan- karena memang belum pernah memasuki gua sekalipun apalagi vertikal di malam sunyi gelap gulita. Tak heran, aku terus menerus khawatir menanti saat ini, bukan karena diriku saja tapi juga karena nyawa orang lain yang juga mungkin bergantung pada keputusan yang akan kami atau aku ambil nanti. inilah eksplorasi pertamaku tanpa rekan yang bisa dijadikan tempat bergantung..karena saat ini kami hanya mampu saling bergantung satu sama lain..saling menguatkan nyali yang mulai menciut.
Hanya selisih beberapa hari sebelumnya, kami baru saja menyelesaikan petualangan di tebing citatah selama 2 hari. Ya, 2 hari disiram teriknya mentari dan terpaan udara panas yang sedang berputar menyerbu angkasa. Sebelumnya bisa dikatakan kami tidak tidur, karena kawan - kawan anggota mudaku ini harus menyelesaikan sesi materi kelas rock climbing dulu sebelum melakukan praktek di tebing sesungguhnya.Baru jam 3 dini hari Sabtu tanggal 23 Juni 2007 itu kami bisa memejamkan mata..dan paginya harus kembali bangun menyiapkan perlengkapan yang harus kami bawa ke dalam beberapa carrier dan daypack, menuju Area Pusat Pendidikan dan Latihan Kopassus : Tebing 48 Citatah - purwakarta.
Lelah dan bau, kami akhirnya tiba lagi di Bandung minggu malam itu. Senin, tanggal 26 Juni 2007 diputuskan untuk beristirahat sejenak..fisik dan mental, dan tidak satupun alat - alat itu dicuci, karena akan digunakan lagi beberapa hari mendatang. Hari itu penuh hanya kuisi dengan tidur, baca buku dan menonton. Hari Selasa, 27 Juni 2007 pagi kami sudah ada di dasar Tower untuk berlatih SRT. Kami membuat 2 lintasan setinggi kira-kira 20 m waktu itu, dengan variasi intermediate dan simpul ditengah lintasan. Pagi itu aku dan kawan – kawan mentor mencoba memberikan materi mengenai teknik turun. Sorenya kutinggalkan sejenak sesi ini untukkeperluan masa depan, dan baru pulangnya aku tau kawan - kawan belum juga selesai berlatih hingga pukul 10 malam. Hari Rabu tanggal 28 Juni 2007 itu kawan - kawan sudah mulai menyiapkan perlengkapan dan membeli bekal untuk perjalanan selanjutnya minggu ini : penelusuran gua. Menurut rencana, kami akan berangkat Ju'mat paginya, sehingga paling tidak hari kamis kami sudah siap untuk On Action.
Oleh karena itu juga, kamis malam tanggal 29 Juni 2007 kami berlatih lagi atau lebih tepatnya tes. Onie dan Ayis sendiri sudah berangkat terlebih dahulu sebagai tim pendahulu, menyiapkan perijinan dan segala sesuatu nya disana. Sedangkan kawan - kawan anggota muda kali ini harus bisa menyiapkan peralatan SRT nya sendiri, melewati lintasan yang ditentukan dalam waktu terbatas berikut dengan peralatan lengkap penelusuran : Boot dan Helm. Ya ini adalah Tes Simulasi SRT, seperti biasa waktu yang telah ditentukan dilanggar..dan kembali aku harus begadang lagi..tak tanggung-tanggung hingga pukul 4 dini hari.."Ya Tuhan, berikan padaku kekuatan dan tambahan semangat", pikirku waktu itu. Karena pukul 7 paginya kami sudah harus berangkat.
....

Sebenarnya tempat ini sudah pernah kudatangi sebelumnya, kawasan kars yang tersembunyi di bawah kerindangan hutan lindung pinus dan rimbunnya semak belukar kebun penduduk, Buni Ayu nama tempatnya. Sekitar 1-2 jam dari Kota Sukabumi. Saat itu tanggal 5-7 Mei 2007, kami hanya ber-4: Aku, nipon, Onie yang memimpin perjalanan survey ini dan acong, anggota muda yang juga turut kami ajak.
Sebenarnya tujuan perjalanan waktu itu bukanlah daerah ini. Tapi daerah kars yang lebih tersembunyi di pedalaman lagi..Sagaranten . Memang untuk mencapai daerah ini kita akan melewati daerah Buni Ayu dahuulu, yang tempatnya sudah menjadi area wisata yang dikelola perhutani dan berada sangat dekat dengan jalur transportasi. Namun lokasi komplek gua di Sagaranten sangat jauh dari keramaian. Nipon sendiri yang menjadi sumber informasi kami ketika itu, terakhir berkunjung pada tahun 2000 silam -7 tahun yang lalu-. Menurut informasi dari nya, kami tau bahwa daerah kars disana sangat perawan, dan terdiri dari berbagai gua vertikal – horizontal yang mayoritasnya berjenis fosil.
Berbekal data 7 tahun yang lalu itu juga, kami berempat akhirnya berangkat ke Sagaranten lengkap dengan perlengkapan camp, logisitik, bahan bakar, dan peralatan penelusuran vertikal. Sebelumnya aku tak pernah khawatir dan tidak sedikitpun firasat melintas dari benakku, bahwa telah banyak yang berubah selama 7 tahun terakhir di dunia ini...termasuk di daerah terpencil seperti Sagaranten.
Dan terjadilah sudah..seperti sudah ditakdirkan, kami saat itu tak berhasil melakukan penelusuran di Sagaranten...karena kami tak pernah ada disana. Ya, kami tidak mampu mencapai Sagaranten dalam perjalanan itu. Karena memang Sagaranten adalah suatu wilayah yang sangat luas..dan kami tidak punya kata kunci desa, kampung atau apapun yang mampu mengidentifikasi dimana tepatnya lokasi yang kami tuju : Rumah Pak Parmin, kuncen gua di Sagaranten. Pun tidak setelah bertanya dan dikerumuni orang-orang –tukang ojeg, preman, satpam,dll- di terminal, atau ketika meminta kawan untuk membawa mobil carteran untuk mengantar kami berkeliling mencari rumah kuncen Sagaranten tersebut hingga pukul 2 dini hari, atau ketika kami menumpang menginap di kantor polisi setempat : Polsek Nyalindung.
Ya, kami tidak pernah menelusuri gua – gua di Sagaranten dalam perjalanan itu. Esoknya tanggal 6 Juni 2007 setelah bangun dari tidur sejenak kami dan makan pagi seadanya di warung, kami berdiskusi mengenai rencana kami saat itu. Diputuskan bahwa kami menghentikan pencarian lokasi desa gua di Sagaranten itu dan langsung menuju Buni Ayu yang sudah jelas posisi nya dan dapat lansung dicapai dari tempat kami berada saat ini. Sebelumnya, ketika Pak Polisi yang sedang berjaga menanyakan tujuan kami, sempat kujawab Buni Ayu dan beliau menawarkan untuk mengantarkan kami dengan mobil patroli.
Dan akhirnya kami tiba juga di Buni Ayu hari Sabtu, tanggal 6 Mei 2007. Saat itu Pak Kakai, koordinator disana beserta Kang Ucok, salah satu guide yang menyambut. Kami menyampaikan niat kami untuk melakukan penelusuran dan mengatakan bahwa kami membawa perlengkapan yang lengkap sehigga tidak perlu meminjam alat. Saat itu yang kami perlukan adalah ijin berkemah dan guide untuk menunjukan gua yang bagus untuk dieksplorasi.
Dari hasil tawar menawar waktu itu, disepakati harga 60 ribu untuk menginap 1 hari di area camp, seorang guide, baju dan helm penelusuran. Waktu itu sudah siang, sekitar pukul 2 dan kami memutuskan untuk mengisi perut yang kosong dahulu. Tak lama hujan deras menemani makan siang sederhana kami itu, dan Pak Kakai menegaskan kembali bahwa kami tidak diijinkan untuk melakukan penelusuran gua yang melewati arus sungai karena dikhawatirkan terjadi banjir didalam..
Oleh karena hal tersebut dan keterbatasn waktu juga, hanya beberapa gua horizontal yang sempat kami masuki waktu itu -gua siluman dan buni ayu-, semuanya adalah entrance (mulut gua) horizontal. Lokasi ini menurut informasi yang kami dapat adalah tempat yang dikunjungi oleh Riani Jangkaru dengan timnya ditemani kawan – kawan MAPALA UI untuk syuting salah satu episode Jejak Petualang.
Selebihnya kami hanya melihat – lihat entrance lain dan mendokumentasikan posisi nya di permukaan bumi, Gua Landak, Domba yang kesemuanya adalah entrance horizontal dan terletak di dalam lebatnya hutan lindung pinus. Saat itu aku tak henti – henti nya kagum karena teringat dengan panasnya terik mentari di Gunung Sewu, Gunung Kidul...tempat yang dulu menjadi persinggahanku untuk mengenal petualangan ini. Saat itu, acong memutuskan untuk tidak ikut serta dengan kami, ”capek...sekalian aku jaga base camp”, katanya saat itu. Tapi aku melihat hal yang lain, shock? Ya untuk ukuran pemula, ia sudah cukub banyak mendapat hal baru yang sangat tak terduga dalam 24 jam terakhir : nyasar, nginap di kantor polisi, berada dalam lorong gelap horizontal dan merasakan bau serta kotoran yang kujamin tak pernah ditemuinya selama hidup di permukaan bumi.. Jadi kami tinggalkan acong di basecamp saat itu, karena memang perlu ada yang stand by untuk menjaga perlengkapan kami sekalian mempersiapkan makan malam.
Entrance Vertikal yang menjadi favorit yaitu Gua Kerek tak sempat untuk kami turuni. Ia adalah bentukan alam berupa sebuah lorong vertikal yang mulutnya terbentuk dari rekah longsoran batuan kapur beberapa ratus lalu. Waktu itu aku yang memegang GPS (alat untuk menentukan koordinat) dan merekam posisinya. Lensa kamera SLR Canon kami saat itu berembun, karena memang saat itu sudah sore dan tanah ini baru saja diguyur hujan begitu lebat nya siang tadi... hingga kami tak bisa merekam suasana yang ada saat itu. Pernahkah kamu membaca teori lubang hitam yang menarik segala sesuatu disekitranya? Seperti itulah yang kurasakan saat melihat dan berada di sekitar celah vertical ini : sunyi, gelap dan begitu kuat menariku..
Sama seperti yang kurasakan kelak, sayup terdengar suara aliran air didalamnya disertai angin dingin yang seakan menyembur dari bawah sana. "Ada sungai dibawah ya kang ? berapa kira-kira dalamnya ? ", tanyaku untuk sekedar melepas kesunyian pada guide kami hari itu. "Ya, ada sungai dibawah. Klo hujan bisa banjir hingga 2-3 meter..Dalamnya kira-kira 30 meter-anlah..", jawab kang Ucok ringan. Mendengar keterangan singkatnya itu, aku mencoba menggambar kondisi dibawah sana di dalam pikiranku...turun kedalam lorong sempit sejauh 30 meter-an (bisa 39..35...32..) dan langsung disambut dingin nya air sungai."anjrit...", pikirku..
"Klo musim hujan seperti ini, kami ga berani turun sore atau malam..karena biasanya hujan disore hari, sedangkan jika turun malam hari, tidak bisa dipantau kondisi langit dari kawan-kawan diatas. Gua ini bagian utama dari aliran sungai bawah tanah dibawah ini. Menurut perkiraan, sungai bawah tanahnya yang membentuk air terjun di depan entrance horizontal di bawah sana..walau belum ada yang membuktikan nya...beberapa tahun lalu memang ada peneliti dari prancis yang menelusuri sungai bawah tanah ini dengan perahu karet hingga ke entrance horizontal, tapi gagal. Klo waktu nya cukup, kita akan kesana." katanya lagi dalam percakapan kami menelusuri hutan pinus ini, menuju pintu-pintu misteri lain yang bisa kami kunjungi sebelum matahari beranjak ke peraduannnya. 

Dan memang benar, kami akhirnya tiba di air terjun setinggi 7 meter itu - Air Terjun Bibijilat. Sedikit kedalam kulihat ada entrance horizontal yang menjadi sumbernya..serasi dengan nama air terjun nya : Gua Bibijilat. Ya, Air terjun ini berasal dari sungai bawah tanah yang tiba – tiba muncul ke permukaan bumi dan langsung disambut bentukan bebatuan vertikal. Penduduk tampaknya memanfaatkan kekayaan alam ini dengan membangun undak-undak besar menyerupai gourdam dan 3 buah pompa air mekanik untuk menyuplai kebutuhan air bagi kampung mereka. Semak belukar diatas juga dipotong pendek sehingga menyerupai taman kecil sederhana yang rindang dibawah pepohonan besar diatasnya. Entah berapa kubik kecepatan air kapur ini mengalir...yang jelas bunyi gemuruhnya nya terdengar hingga jauh, dan aku tak mampu membayangkan kondisi sungai bawah tanah di gua sana...atau bagaimana rasanya terjebak didalam..
To be continued