Apakah nasib terbaik adalah tidak dilahirkan?


Apa kabarmu jiwa? hari ini entah mengapa aku begitu merindukan mu. Tanpa kusadari, hidup yang tanpa rasa menyapa waktu ku. Hanya letihku ternyata masih cukup kuat untuk melawan, atas frustasi yang tak kuijinkan mendekap ku, atau lelahnya langkah yang mulai gontai menyusuri jalan ini. Beberapa saat yang lalu ku tau engkau gelisah. Ku tanya "mengapa?", "ada apa kawan?" begitulah kira - kira hatiku berucap pada mu. Namun kamu memberi ku seribu ucapan diam, namun jutaan kalimat tak berujung dan potongan - potongan kata tetap terurai terus menerus dalam kepala ku. Dan kusadari, aku harus menulis.

Kawan, ku tau kamu tak akan meningggalkan ku. Setelah jalan panjang yang kita lalui bersama. Ku teringat saat - saat ketika haus menyambut dahaga ini, atau sewaktu terik mentari menyapa kulit, atau ketika letih mendekap tubuh yang telah lemah. Dan hanya perjalanan panjang yang menemaniku, bersama kesetiaan mu yang tak mampu kugambarkan. Jiwa, ku tau kau tak kan meninggalkan ku. Tak akan pernah, hingga satuaan waktu tak mampu menyapa hidup ku.

Aku menyadari beberapa hal beberapa di saat yang lalu. Yang membuatku membuka halaman ini lagi saat ini. Tentang hakekat menulis dan membaca. Bahwa syarat mutlak untuk memimpin adalah menjadi penulis. Dan untuk menulis, butuh konsep untuk analisanya layaknya tinta untuk pena yang ingin menggores kertas. Dan sebuah analisa butuh kesungguhan dalam berpikir. Dan dalam berpikir butuh keiklasan untuk membaca, melihat, mendengar. Sekali lagi sebuah kesempurnaan siklus hidup di suguhkan di hadapan ku. Allah yang Maha Sempurna membuat semua yang begitu rumit dilindungi oleh kesederhanaan.

Aku mengetahui Soe, sebuah nama panggilan yang diberikan untuk Soe Hok Gie, satu dari beberapa sosok idolaku. Aku menyukai banyak hal dari nya, tentang jalan hidup yang dipilih, tentang arti sebuah konsistensi, makna kejujuran, hakekat idealisme dan hakikinya sebuah perjuangan. Aku membaca sedikit riwayat yang tersisa tentang kesendiriaanya. Aku menyukai kesendiriaan itu. Aku tak tau pasti, tapi ku coba menerka kepribadiaanya. Menurutku ia begitu kolerik melankolik murni, seorang idealis yang mencintai kesendirianya, seperti ku. Entahlah benar atau tidak, yang kutau hanya seorang kolerik melankolik akan mengenai kolerik melankolik lain. Dan aku ingin merasakan keheningan yang dipilihnya, diantara dingin angin yang diberikan alam, semilir bunyi rumput di tanah dan dibawah langit yang menjadi atap bumi. Dan yang terpenting adalah fakta bahwa Soe sering menulis, untuk coba abadikan tentang segala sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan dan dibacanya dalam lantunan irama kata.

Jiwa, apakah kau masih disini? masih ada yang ingin ku ceritakan padamu. Tentang sumber kegelisahan dan ketenangan hatiku. Sudah beberapa minggu sejak aku tak menemuinya lagi atau bahkan tak bicara lagi dengan nya tentang hidupku. Kau tau, dulu aku acap kali tuliskan tentang ceritaku, tentang waktu yang menemaniku jalani hidup, tentang kesedihan dan kegembiraanku. Saat itu kuputuskan untuk tak mengacuhkan keinginannya melupakan kenangan ku. Sedikit angkuh dalam pikiranku memang selalu melintas, bahwa sedih yang ia rasa tak akan sedalam milikku. Karena aku yang putuskan untuk meninggalkannya diantara sejuta keinginanku untuk selalu bersama dengannya. Karena ku relakan untuk menanggung rasa salah atas semua kejujuran sederhana ini. Hingga kuputuskan untuk membuat mu percaya bahwa pedih ini tak setinggi miliknya. Mungkin aku salah, tapi kebenaran pun tak ada artinya lagi saat ini. Yang pasti hanyalah fakta tentang rasa perih yang selalu menyertai jalan panjang dan berliku ini.

Aku berharap dapat melupakan nya. Tapi aku suka menulis, dan menulis bagiku adalah sebuah perjuangan melawan luka, dan lupa. Tak mungkin ingin-ku ini dan perjuangan-ku ku lawankan. Jadi ku coba berjalan bersama alam yang masih menemani bumi. Mencoba titipkan kenangan yang tersisa tentang nya. Syukurlah ada dedaunan, air, pasir dan angin yang masih mau menerima ku dan segengam kisah yang kubawa serta. Hingga kuceritakan lah dalam ucapan suara hati tentang sejumput lagu hidupku dengan nya, dalam lembutnya puisi di kegelapan malam ditemani kehangatan api di sisa bara ku. Tak hanya itu saja, tapi juga tentang kencangnya lintasan kehidupan di sampingku. Yang tertata rapi layaknya layar teather..ya, teather kehidupan. Dan hingga saat kuberjalan pulang sore itu, aku berharap kenangan dan keresahan itu dapat kutinggalkan. Tapi kita lupa tentang semilir angin yang membawa suara getar dedaunan, tentang gemericik air yang dibawa gelombang dan dihantam batu sungai, tentang butiran pasir yang diterbangkan badai. Ternyata membawa semua yang coba kutinggalkan kembali padaku, kali ini ia disertai hangatnya rasa rindu.

Bila ku menjadi gila dengan kau tinggalkan jiwa, apakah mungkin semua ini terasa lebih baik? Mungkin kita akan tau ini kelak, mungkin kita tak kan pernah tau, entahlah. Hanya kutetap yakini, bahwa yang dihadapanku saat ini adalah yang terbaik dari apa yang bisa terjadi. Karena Allah yang mengatur semua nya, tak ada yang terlewat, semuanya terencana seperti layaknya daun yang jatuh kepelukan ibunya, bumi. K u percaya, saat - saat ini akan menjadi waktu yang mendewasakan mu jiwa, di suatu saat nanti ketika masa depan yang misterius menjemput kita.

Aku teringat kata - kata Soe :
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa - rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda. Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip - prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.

Jiwa, biar ku katakan padamu, bahwa aku menyukai hidup ini dan kematian yang akan menjemputnya. Dan kegembiraan serta tangis yang kelak menggantikannya. Dan Kejujuran yang ditantang kemunafikan dalam kebohongan. Jiwa, karena itulah aku cinta kebebasan.

Al – Kahfi
Bandung 24 Agustus 2006