Gibran dan lantunan nada ku


Jiwa-Jiwa Pemberontak
Bagi sang jiwa yang memeluk jiwaku. Bagi hati yang mencurahkan rahasia-rahasianya pada hatiku. Dan bagi tangan yang menyalakan api emosiku, aku persembahkan lembaran ini.
.............................
Kemarilah, kekasihku. Marilah kita berjalan diantara puing-puing, karena salju telah mencair. Hidup bergulir dari kediamannya dan berputar-putar diantara lembah dan bukit.

Pergilah bersamaku dan kita akan temukan jejak-jejak kaki musim semi di padang yang luas. Marilah, kita mendaki sampai puncak bukit itu dan melihat tetumbuhan dalam hamparan hijau di sekeliling kita.

Sekarang adalah saat untuk menghirup dalam-dalam bau angin segar musim semi. Marilah kita duduk di atas batu tempat bunga lembayung bersembunyi, saling bertukar ciuman cinta....
.............................


Kemarilah, mari kita pergi ke padang karena saat panen telah tiba. Hasilnya telah terlihat dan panasnya cinta matahari pada alam telah mematangkannya.

Kemarilah, sebelum burung-burung mendahului kita, dan meraup buah-buahan hasil kerja keras kita; atau sebelum sekumpulan semut mengambil tanah kita.

Kemarilah, kawanku, mari kita terlentang di atas rerumputan dengan langit sebagai selimut kita. Mari kita sandarkan kepala di atas jerami segar dan beristirahat dari kerja seharian, mendengarkan suara malam yang berbisik dari aliran sungai dari lembah di bawah.
..............................

Mari kita kembali ke rumah, karena daun-daun pohon kini menguning dan dihempas angin. Angin akan membuat mereka kain kafan karena bunga-bunga layu dalam ketuaan lantaran musim panas yang mengguncangkannya. Marilah kita pulang, karena sungai-sungai telah berhenti mengalir. Musim semi telah mengeringkan airmata gembira milik mereka.

Kemarilah, kekasihku, karena alam digoda oleh kelesuan dan mengatakan selamat malamnya pada kesadaran dalam bentuk nyanyian kesedihan Nihavand.....

Mendekatlah, teman hidupku. Mendekatlah padaku dan jangan biarkan nafas-nafas dingin memisahkan kita. Duduklah di sampingku di depan perapian, karena api adalah buah termanis di musim dingin. Ceritakan padaku hal-hal yang telah berlalu, .

Karena telingaku letih dengan desau angin dan kerasnya salju. Palanglah pintu-pintu dan jendela-jendela, karena tatapan marah cuaca membuat sedih jiwaku. Sementara pemandangan kota duduk seperti seorang ibu yang hilang di bawah lapisan-lapisan es, menekan hatiku.

Isilah lampu dengan minyak, oh teman hidupku. Letakkan di dekatku sehingga bisa kulihat apa yang telah ditorehkan malam di wajahmu. Bawalah anggur untuk kita minum, dan kita akan ingat saat anggur itu kita peras...



Perjamuan Jiwa
Bangunlah, Cintaku. Bangun! Kerana jiwaku mengalu-alumu dari dasar laut, dan menawarkan padamu sayap-
sayap di atas gelombang yang mengamuk. Bangunlah, kerana sunyi telah menghentikan derap kaki kuda dan langkah para pejalan kaki.

Rasa kantuk telah memeluk roh setiap laki-laki, sementara aku terbangun sendiri, rasa rindu membukakan kertas surat tidurku. Cinta membawaku dekat denganmu, namun kebimbangan melemparkan diriku menjauh darimu.
Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah nafasku meninggalkan tempat tidurku, Cintaku, kerana takut pada hantu lupa yang berada di balik selimut. Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah nafasku meninggalkan halaman buku yang kosong di depan mataku!

Bangun, bangunlah, Cintaku dan dengar diriku!
Aku mendengarkanmu, Cintaku! Aku mendengar panggilanmu dari lautan lepas dan merasakan lembutnya sentuhan sayapmu. Aku telah jauh dari ranjangku, beranjak ke tanah lapang, hingga embun membasahi kaki dan bajuku. Di sinilah aku berdiri, dibawah bunga-bunga pohon badam, memenuhi panggilan jiwamu.

Bicaralah padaku, Cintaku, dan biarkan nafasmu menghirup angin gunung yang datang padaku dari lembah-lembah Lebanon. Bicaralah. Tak ada yang akan mendengar selain diriku. Malam telah melarutkan semua manusia ditempat tidurnya. Syurga telah menyulam cahaya rembulan dan menghamparkannya ke seluruh daratan Lebanon, Cintaku. Syurga telah meriasnya dengan bayangan malam, jubah tebal membentang dihembus asap dari cerobong kain, dihembus nafas kemari, dan mengelarnya di telapak kota, Cintaku.

Para penduduk telah pulas menganyam mimpi di ubun-ubunnya di tengah pohon-pohon kenari. Jiwa mereka mempercepatkan langkah mengejar negeri mimpi, Cintaku. Lelaki-lelaki longlai menggendong emas, dan tebing curam yang akan dilalui melemaskan lutut mereka. Mata mereka mengantuk kerana dililit kesulitan dan ketakutan. Mereka melemparkan tubuh ke tempat tidur sebagai tempat berlindung dari hantu-hantu yang menakutkan dan mengerikan, Cintaku. Hantu-hantu dari masa lalu berkeliaran di lembah-lembah. Jiwa para raja melintasi bukit-bukit. Fikiranku yang berhias kenangan menyingkap kekuatan bangsa Chaldea, kemegahan Arab.

Di lorong-lorong gelap, jiwa-jiwa pencuri yang tegap berjalan, muncung-muncung nafsu ular berbisa muncul dari celah-celah benteng, dan rasa sakit berdengung kematian, muntah-muntah sepanjang jalan. Kenangan menyingkap tabir kelupaan dari mataku dan nampaklah Sodom yang menjijikkan, serta dosa-dosa Gomorah.

Ranting-ranting berayun-ayun, Cintaku, dan desirnya bertemu dengan alunan anak sungai di lembah. Syair-syair Sulaiman, nada kecapi Daud dan lagu Ishak Al-Mausaili terngiang-ngiang di telinga kami. Jiwa anak-anak yang lapar di penginapan menggelupur, ibunya mengeluh di atas kamar kesedihan, dan kekecewaan telah jatuh dari langit. Mimpi-mimpi kebimbangan melanda hati yang lemah.

Aku mendengar rintihan pahitnya. Semerbak bunga melambai seiring nafas pohon-pohon cedar. Terbawa angin sepoi-sepoi menuju perbukitan, harum itu mengisi jiwa dengan kasih sayang dan meniupkan kerinduan untuk terbang.Tetapi racun dari rawa-rawa jug berkelana mengepul bersama penyakit. Seperti panah rahasia yang tajam, racun itu telah menembusi perasaan dan meracuni udara.

Tanpa kusedari matahari telah mengilaukan cahaya pagi, Cintaku, dan jari-jari timur yang lentik menimang mata-mata orang yang terlelap. Cahaya itu memaksa mereka untuk membuka daun jendela dan menyelak hati dan kemenangan. Desa-desa, yang sedang tertidur dalam damai dan tenang di pundak-pundak lembah, bangun, loceng-loceng berdenting memenuhi angkasa sebagai panggilan untuk mula berdoa.

Dan dari gua-gua, gema-gema juga berdengung, seolah-olah seluruh alam sedang berdoa bersama-sama dengan khusyuknya. Anak-anak sapi telah keluar dari kandangnya, biri-biri dan kambing meninggalkan bangsalnya untuk menuai rumput yang berembun dan berkilatan cahaya. Penggembalanya mengikuti dari belakang sambil mengamatinya di balik lelalang. Di belakangnya lagi gadis-gadis bernyanyi seperti burung menyambut pagi.

Kini tangan siang hari yang perkasa terbaring di atas kota. Tirai telah diselak dari jendela dan pintu pun terbuka. Mata yang penat dan wajah lesu para penjahit telah siap di tempat kerjanya. Mereka merasakan kematian telah melanggar batas kehidupan mereka, dan riak muka yang layu mempamerkan ketakutan dan kekecewaan. Di jalanan padat dengan jiwa-jiwa yang tamak dan tergesa-gesa, dan di mana-mana terdengar desingan besi, pusingan roda dan siulan angin. Kota telah menjadi arena pertempuran di mana yang kuat menindas yang lemah dan si kaya mengeksploitasi dan menguasai si miskin.

Betapa indah hidup ini, Cintaku, seperti hati penyair yang penuh dengan cahaya dan kelembutan hati.
Dan betapa kerasnya hidup ini, Cintaku, seperti dada penjahat, yang berdebar-debar kerana selalu merasa bimbang dan takut.

Semalam
Semalam aku sendirian di dunia ini, kekasih.
Dan kesendirianku sebengis kematian.
Semalam diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara.
Didalam fikiran malam.
Hari ini, aku menjelma menjadi nyanyian menyenangkan diatas lidah hari.
Dan ia berlangsung dalam semenit dari sang waktu
yang melahirkan sekilas pandangan, sepatah kata, sebuah desakan
dan..sekecup ciuman

-Khalil Gibran-