Gemuruh di Tanah Sejuta Kenangan


Aku teringat beberapa bulan lalu. Saat itu Sabtu pagi, ketika ku langkahkan kakiku memasuki ruang ini, markasnya ASTACALA. Saat itu long weekend, kebetulan para jendral (senior-red) ASTACALA banyak yang meluangkan waktu liburnya untuk sekedar bercengkrama dengan kami adik - adiknya. Pagi itu, mbak Doni kulihat sedang khawatir menatap perkembangan berita di internet. Pagi itu, kami dapatkan kabar bumi jogja tempat kami biasa bermain dihantam gempa berkekuatan tinggi.

Saat itu belum banyak hal yang dapat dilakukan, hanya menanti dan menunggu perkembangan terbaru yang bisa kami simak dari radio, tv atau internet. Barulah sorenya penantian itu berubah, karena jumlah korban yang cukup banyak yang tidak mungkin bagiku untuk menanti lagi seperti beberapa waktu lalu saat tanah rencong dihantam tsunami.

Keputusan itu berubah menjadi sesal bagiku saat ini karena ku lewatkan begitu saja kesempatan berharga untuk belajar dari alam dan manusia di aceh. Saat semua kawan ku bergerak menuju tanah bencana itu, aku hanya terdiam di sini hanya menanti dan menunggu. Akh, tidak untuk saat ini atau nanti hal itu akan kulakukan lagi. Bukan sejuta alasan yang harusnya terungkap yang erujung pada pembenaran untuk mengobati penyesalan, tapi harusnya tindakan nyata untuk bertindak.


"Ke Jogja, dek?". Begitulah pertanyaan sederhana mas gepeng, tentor yang sangat kukagumi di ASTACALA tentang sikapku untuk musibah ini. Bukan mengapa, tapi karena jogja begitu dekatnya dari parahyangan ini, karena begitu seringnya kami menikmati dan menumpang di atas tanahnya untuk menghirup sebanyak mungkin pengetahuan yang dapat disuguhkan alam untuk diambil sarinya. Juga karena jogja telah lama menjadi penyejuk hatiku saat resah setelah kota kelahiran Mamaku : Bukittinggi. Untuk alasan yang terakhir ini tak taulah aku penyebabnya, karena sejak pertamua kali aku tiba dikota ini, sudah kurasakan dengan kuatnya dejavu yang sekejab merangkul jiwaku. Seperti mengenalnya diwaktu yang lalu. Beberapa saat setelahnya, barulah kusadari bahwa kota ini bagiku seperti Bukittingi,ada kursi taman yang bisa untuk duduki sambil membaca buku dan menghirup teh hangat dengan latar gunung. Bedanya di taman kota ini tak burung merpati seperti di Bukkittingi, tapi mereka punya gunung yang sama : Gunung Merapi. Hanya arahnya saja yang berbeda. Jika di Jogja Merapi ada di utara, maka di Bukkitinggi Merapi ada di timur.

Hari telah beranjak sore di sini saat Mas Gepeng, Gapung dan Mbak Doni berpamitan. Mas Gepeng dan Gapung langsung menuju Jakarta, sedangkan Mbak Doni langsung ke rumah keluarganya di Bantul. Saat itu, markas ASTACALA belum memutuskan aksi yang dapat dilakukan sehubungan dengan bencana ini, namun setiap orang sibuk mengumpulkan informasi yang sekiranya dapat kami gunakan nanti untuk membantu pengiriman personil atau bantuan ke jogja. Sibuk dan berantakan, itulah kesana yang dapat kutangkap saat itu. Jabek bahkan sudah mengumpulkan kardus untuk menjadi kencleng sumbangan dan sekejab kemudian kawan - kawan sudah berputar kampus untuk membagikannya.

Sedikit lebih malam, tiba sms dari seorang senior ASTACALA yang bekerja di Pro-XL. "Ada seat 3 orang lagi di mobil Pro-XL untuk ke Jogja. Yang bisa berangkat siap - siap, aku tiba tengah malam di bandung". Begitulah kira - kira isi SMS itu yang membuatku dan beberapa kawan lain segera menyiapkan sedikit bekal agar kami bisa menjadi rombongan advance ASTACALA yang berangkat duluan untuk meninjau situasi dan memberi informasi sekretariat tentang segala kebutuhan di jogja nanti.

Malam itu kuisi dengan menanti sambil menonton konser UKM Band di depan Gedung SC. Sedikit kesal -yang kurasakan karena ditengah bencana ini kawan - kawan itu masih sempat jejingkrakan menikmati lantunan nada- sekejab hilang sewaktu panitia memimpin renungan sejenak diikuti doa bagi saudara - saudara di jogja. Malam itu aku duduk terdiam bersama kamera SLR Pentax dan tripod ku, mencoba mengambil gambar yang mungkin menarik. Tapi hatiku kosong sekosong pikiran yang melayang - layang. Entah mengapa, saat itu aku rindu Jogja dan Bukittinggi, aku ingin pulang atau segera ke Jogja. Keinginan yang sungguh berbeda ini membuncah dari dadaku. Dan diantara kesendirian dalam keramaian itu, kurasakan sedikit kesedihan karena mengingatmu. Kembali seperti yang sudah - sudah. Tapi malam itu, kesendirian ini kuiisi dengan memotret. Dini hari, barulah kudapat kabar Otong dan rombongan Pro-XL yang kami tunggu dari magrib tadi sudah berangkat duluan dengan pesawat dari Sukarno Hatta, sehingga kesempatan untuk menumpang beliau lenyap sudah.

(Unfinished Story..will continued later)