First Love Letter from Google


From: secret sender < secretemail@google.com>
Date: xx januari 2011 xx.30.xx CET
To: myemail@somewhere.com
Subject: Google xxx opportunities 2011

Hi there Aidi!

My name is secret sender and I handle the Google's EMEA Engineering xxx Programme. We are currently (September 2010 to February 2011) recruiting xxx to join us starting in 2011. We only have a few projects left. I received your information from a colleague and will be happy to take over your application from here. Please contact me if you have any questions - or let me know when I can call you!

First of all - are you interested in applying for an xx?

If so, here's information on how the xx application process works:
First, we get some info from you about your interests, experience and preferences. Our engineering teams examine this information for potential matches with their projects. Next, we arrange a preliminary phone interview for you and one of our engineers. Depending on your performance, you may continue on to one or two additional phone interviews, followed by an informal chat with your potential manager. The length of this process varies according to your own schedule and project availability in your preferred locations. Usually, it takes about a month or two. I'll be the primary person keeping you up-to-date throughout the process.

Please read this part carefully, to check if you're eligible for an xx!
To be eligible for an xx, you should be returning to university afterwards, or the xx should be a formal part of completing your studies (such as a 'stage de fin d'etudes' in France). Google Engineering xx are typically full-time positions and take place year-round. Start and end dates are flexible, with a minimum duration of three months. We accept xx at all levels of education: Bachelors, Masters and PhD. It's also worth bearing in mind that all our projects are heavily coding-based in software engineering roles.

To get started, I'll need to know:

- Your preferred programming languages (Alien language 1, Alien language 2, etc.?)

- How well do you know the programming language xx?

- Please choose up to two primary areas of technical interest from the following list:
 1. Crazy field 1
 2. Crazy field 2
 3. ..
31. Crazy field xx

- Can you describe 2 interesting technical projects that you were recently involved in? (5-10 lines each) Please do not include any confidential information, but include details of how recent the projects were, the quantity of code, languages used, how many people were involved, how long you worked on them, operating systems and technologies used.

- When are you available to start an xx at Google and for how long? (Google xxx programme must last a minimum of 3 months).

- Which Google locations are you interested in? We have technical xxx opportunities available in xx, xx, xx, xx, xx and xx (please note that we can only consider your application for countries in which you're legally entitled to work).

- Your nationality(ies).

- What degree are you currently studying?  (BSc, MSc, PhD?)

- Your anticipated graduation date.

- Your current GPA (grade point average) at university. In other words, what is your overall score or result?  For PhDs, your most recent GPA is sufficient.

- I'll also need a copy of your university transcripts (unofficial is fine) listing the courses you've taken grades you've achieved.  

- Please also send your most updated CV


Next, please provide me with the following information so we can schedule the initial phone interview for you if our engineering teams approve:
- Your availability (please give as many time slots as possible)
*Dates:
*Times (interviews take about 45 minutes to one hour). Please provide times that match with European working hours (10:00am-5:00pm) in the time zone CET
*Preferred phone number including the country code (you'll need a strong, reliable connection. Landlines are usually best):
*Please take a minute to fill out this brief questionnaire (URL:secreat link).  Google is legally required to request this information from all applicants.  Please let me know if you have any questions about the questionnaire.

If everything is in order, you'll hear from us soon, to set up your interview and ensure that you have all the info and details you need.  Please feel free to contact me if you have any questions. Looking forward to hear back from you!

Best,

Secret sender
People Operations
Google xxx
Secret Street 

A Journey to the Warmest City, Lisbon


-Catatan Backpacking Winter Escape 2010, Kota ketiga, Hari keempat-

Hujan dipagi hari dikota Lisabon

Kami tiba malam pukul 11, tanggal 21 desember di terminal Lisbon dan tanpa membuang waktu langsung mencari metro kearah Restaurades, seusai dengan informasi yang kami baca dalam guidelines, menuju hostel kami di Lisbon, Kistch Hostel.  Hostel ini tak seberapa jauh stasiun metro itu dan berada diantara bangunan tua. Sewaktu mencari hostel malam itu, hanya tulisan kecil didekat pintu bertulisan “Kistch” yang ada didepan pintu, berikut instruksi bahwa hostel ada di lantai 2. Mencoba membuka pintu dan tidak berhasil, Ibnu memencet bel beberapa kali, sebelum akhirnya seorang gadis berteriak dari lantai atas, PUSH THE DOOR!!! PUSH THE DOOR!!!! Yes, It’s little bit hard, but just PUSH it, and go upstairs!

Dengan saling berpandangan penuh makna “what a nice welcome”, kamipun mendorong pintu yang tampak keras dan berderit itu, lalu bergegas ke lantai atas sesuai instruksi. Resepsionis dan ruang utama memang tampak sepi, tapi secara umum ternyata bagian dalam hostel ini tampak lebih nyaman bagiku, setidaknya gadis resepsionis yang berteriak dari lantai atas tadi ternyata dengan ramah melayani kami, dibandingkan resepsionis di hostel kami di Madrid tempo hari. Kamar yang kami booking pun ternyata lebih rapi, luas dan terang, juga tak ketinggalan security lock yang dipasang di pintu masuk yang hanya bisa dibuka dengan kunci yang sama yang diberikan pada kami untuk locker pribadi yang ada didalam kamar.

Kamar mandi yang ada juga lebih nyaman dan besar dibandingkan dengna hostel kami ketika di Madrid. Saking kecilnya, aku teringat cerita Ibnu  tentang bule dikamar mandi cowo yang terpaksa tetap mandi dengan pintu kamar mandinya tetap terbuka gara – gara terlalu kecil dan sempitnya space yang ada untuk diisi badannya yang besat itu. Satu hal yang kurang hanya pintu kamar yang tidak ada nomor, hingga  aku sempat berputar – putar sekembalinya dari kamar mandi, mencari pintu kamarku diantara pintu kamar yang tampak sama – sama putih, mencoba membukanya dengan gelang kunci security yang kupunya, akhirnya setelah 10 menit berputar – putar, aku temukan juga satu pintu yang berpbnyi “tiit!!” *cape deh

Karena sudah begitu larut , aku memutuskan untuk segera tidur malam itu. Besok kami akan memulai eksplorasi kota Lisbon karena, lagi, kali ini, harus mengejar bus kembali ke spanyol malam nanti, ke negri Andalusia, Seville.

Bangun pagi, shalat, mandi dan packing, aku langsung turun untuk sarapan pagi di ruang makan. Tampaknya tidak banyak yang menginap di hostel hari itu, 3 orang bule yang kulihat semalam sudah lebih dulu sarapan dan selesai ketika kami baru saja turun untuk bergabung. Di dapur, ada seorang gadis Portugal yang tampaknya bertugas jaga di hostel pagi itu yang melayani kami.

“Hello..good morning guys! So you're all from Indonesia?”, begitu sapanya.

Ola..Yes we're from Indonesia, good morning for you too”, jawab Eric.

So tell me how beautiful your country is? It must be expensive to go to there..you all travel to Lisbon directly?”, tanyanya melanjutkan percapakan sambil mengambilkan sebuah muffin dan roti untuk kami masing – masing. Menurut yang kubaca di dinding ruang makan, kami mendapat jatah makan pagi berupa 1 roti, 1 croissant, 1 buah, jus, kopi, dan crunch sepuasnya.

It depends on when you will go to there, if not in the peak season, I think the flight price is not really expensive…If you're lucky, maybe you can get 700 euro for return ticket” , sambung Eric mencoba meyakinkan membesarkan hati. Tampaknya berita bahwa kami orang Indonesia cukup menjadi pembicaraan diantara pegawai hostel, hingga Eric menambahkan lagi “We don’t travell from Indonesia actually, we're studying in Sweden, and start from Madrid 2 days ago…

Aha..oke, it’s nice news that you the ticket to Indonesia is not really expensive..well, I will pack my bag after this maybe!” sahutnya sambil tertawa bercanda. Pukul 10 kami beranjak dari ruang makan itu, langsung ke kamar untuk packing dan check out pukul 11, siap menjelajah kota.

Kota Lisbon adalah salah satu kota di selatan eropa yang paling sering dikunjungi (Istanbul, Rome, Barcelona, Madrd, Athens, Milan). Ia juga menjadi pusat perekonomian dengan pelabuhan nya yang merupakan pelabuhan terbesar di bagian atlantik eropa. Lisbon juga merupakan salah satu kota tertua di eropa, ia tercatat dimasa Julius Caesar sebagai salah satu propinsi dengan nama Felicitas Julia. Dan beruntung, hostel yang kami tempati ini terletak tepat di depan sighseeing pertama kami, Praça dos Restauradores (Restorer's Square) dengan obelisk terletak di tengahnya, mengingatkan kemerdekaan Portugal dari penjajahan Spanyol. Disekitar monumen itu juga terdapat patung – patung kecil yang menjadi perhatian kami, yang meng-capture berbagai kondisi pengemis jalanan dan orang – orang homeless dengan kondisinya masing – masing. Tak jauh berjalan dari area ini juga bisa ditemui Avenida da Liberdade (Liberty Avenue), yang tepat berada disamping stasiun kereta Rossio.

Bangunan stasiun itu dan hampir keseluruhan bangunan yang mengitari area ini, menurut yang kubaca, memang merupakan masterpiece dari bangunan – bangunan tua di Lisbon dengan keunikan arsitekturalnya masing – masing, sebut saja gedung Palácio Foz, dan Orion Eden Hotel yang dulunya adalah theather sebelum diubah menjadi hotel, dll. Daerah ini juga merupakan daerah tersibuk di Lisbon, dan tidak ada secara spesifik satu daerah yang disebut downtown dikota ini, maka area Avenida da Liberdade ini hingga Praça de Pombal, bundaran diutara yang dihubungkan dengan jalan utama Lisbon, bisa dikatakan satu dari banyak downtown Lisbon. Kami sempat berteduh sebentar di dalam stasiun saat Lisbon dibasahi hujan yang cukup lebat siang itu. Didalam stasiun, kami sempat bertanya pada seorang bapak tua, transportasi menuju seighseeing selanjutnya yang ternyata tidak begitu jauh dari tempat kami berada saat itu.

Setelah hujan sedikit lebih reda, kami lanjutkan berjalan terus ke arah Praça da Figueira. Bundaran ini sudah ada sejak abad ke 18, berdiri diatas rumah sakit yang runtuh setelah gempa besar yang melanda Lisbon diabad ke 17.  Pada masanya, area ini yang disebut juga Rossio, adalah pasar utama Lisbon dan juga tempat diadakannya festival tahunan. Dipinggir plaza ini, berdiri monumen patung Raja João / Jhon I yang awalnya beradi ditengah plaza, lalu dipindahkan agar patur dapat dilihat dari area Praça do Comércio. Saat ini, area ini dikelilingin toko, hotel, café dan menjadi point pertemuan transportasi umum Lisbon, seperti metro, bus dan trem. Dari Plaza ini, bisa terlihat dikejauhan Castelo de São Jorge atau Benteng Saint George yang dibangun di zaman Kekhalifahan Islam di Portugal diabad ke 10.

Puas menikmati suasana sekitar plaza, kami kembali ke arah Avenida da Liberdade, berbelok menyusuri jalan utama, Rua Augusta, salah satu area perbelanjaan utama di Lisbon yang berujung di gerbang besar Arco da Rua Augusta. Gerbang ini dijaga oleh 5 patung pada bagian atasnya, Vasco da Gama salah satunya. Melewati gerbang ini, kami langsung disuguhi plaza luas, Praça do Comércio yang berdiri disisi hilir sungai terbesar di Iberian Peninsula, sungai Tagus (yang begitu besar hinga kukira adalah laut). Plaza ini disebut juga sebagai Terreiro do Paço  atau lapangan kerajaan karena berdiri dilokasi dimana instana kerajaan, Pacos da Ribeira, pernah berdiri 400 tahun lalu, sebelum hancur saat gempa besar dan tsunami. Keseluruhan area tersebut disebut juga daerah Pombaline Baixa (Pombaline downtown) yang dibangun kembali dengan bangunan-bangunan beraksitektur tahan gempa. Main piece di tengah plaza, yang merupakan salah satu pintu gerbang utama Lisbon dari laut itu, berdiri patung King José I yang memimpin Portugal saat gempa besar itu terjadi.

Berdiri dilapangan ini, tidak saja membuat kami takjub dengan luasnya plaza dan kemegahan arsitektur yang ada disekitarnya, tapi juga sekaligus membuktkan iklim Lisbon yang disebut sebagai subtropical-mediterrannean itu. Dan memang, bahkan setelah kelak melangkah terus ke selatan (andalusia), tidak dapat aku merasakan cuaca sepanas Lisbon, tidak ditengah musim dingin seperti saat dipenghujung desember itu. Menurut yang kubaca, Lisbon adalah salah satu kota eropa yang memiliki musim dingin terpanas bekat gulf stream yang melewati langit kota sepanjang tahunnya. Dan kamipun serentak membuka jaket masing – masing saat ditengah plaza, dan bahkan karena saking senangnya, Indra sampai membuka baju dan bertelanjang dada berjingkrak – jingkrak didepan patung King José.

To be continued..

Menyusuri O Porto, the City of Bridges


-Catatan Backpacking Winter Escape 2010, Kota kedua, Hari ketiga-

Day 3 backpacking winter escape:
kelaperan nyari tempat makan siang murmer dan nyasar di downtown Porto,
small city in north portugal where JK.Rowling started writing HP,
tiba2 ketemu ibu Isti, istri konsul portugal untuk indonesia,
diajak makan siang plus undangan ketemu dubes di lisbon.
Nice city, nice journey, what a nice life!!
My facebook status, December 22, 2010 at 2:04am via Mobile Web


A flight to the unknown beautiful city
Pagi hari, selasa tanggal 21 desember itu aku bergegas bangun, shalat, mandi seadanya lalu packing. Kami harus berangkat ke bandara segera, mengejar penerbangan ke kota kedua dalam perjalanan kami, ke Porto, Portugal. Berbeda dengan kondsi metro yang tampak sepi kearah pusat kota di waktu yang sama tempo hari, saat ini metro kearah bandara di utara kota Madrid begitu ramai dengan hilir mudik orang – orang yang terburu – buru. Sepertinya, area perkantoran umum di Madrid memang bukan di pusat kota, tapi sedikit ke utara, sejalan dengan rute kami menuju bandara.

Kami tiba di bandara Madrid – Barajas sekitar pukul 8 pagi, dan langsung menuju counter check in. Agak sedikit kebingungan, kami beberapa kali pindah jalur antrian di counter Ryan air ini karena penjaga counter yang tidak ramah dan pun tidak bisa berbahasa inggris, padahal melayani rute penerbangan international *cape deh*. Indra, rekan dari Stockholm yang mampir ke Paris lebih dulu, karena tidak ada lagi penerbangan murah Stockholm - Madrid,  sudah tiba di bandara Barajas malam sebelumnya dan juga menginap di bandara. Menurut rencana kami akan bertemu di gate Ryan air lalu bersama – sama melanjutkan perjalanan ke Porto.

The city of the famous wine
Porto atau Oporto adalah kota kedua terbesar Portugal setelah Lisbon, dibelah oleh sungai Duora, salah satu sungai terbesar di Iberian Peninsula. Kota ini disebut juga sebagai Cidade das Pontes atau City of Bridges dan Capital do Norte atau The Capital of the North, terletak diantara kota – kota kecil di utara Portugal. Tapi kelak baru kuketahui, justru di kota – kota kecil di utara inilah perekonomian Portugal sebenarnya berjalan, menjadi rival utama perekonomia Lisbon, terutama hasil pertanian dan perkebunannya. Menurut informasi Ibu Isti, istri konsul kehormatan Indonesia di Porto yang kelak bertemu dengan kami, daerah - daerah di utara ini, terutama Porto, adalah sumber para investor utama dan orang – orang kaya Portugal. Jadi, tidak seperti Jakarta tempat roda perekonomian berputar, kota besar macam Lisbon secara sederhananya digunakan untuk occasional, “berfoya – foya” atau untuk pertemuan bisnis, namun aktivitas produksi utama sebenarnya ada dikota – kota utara ini.

Porto, tanpa aku dan orang – orang awam lain sadari sebenarnya adalah kota yang begitu terkenal, sebut saja salah satu wine paling terkenal didunia, Port wine yang berasal dari area ini, dan menurut catatan adalah salah satu pusat peradapan tertua di eropa, berdiri sejak zaman romawi kuno dengan nama latin Portus Cale yang merupakan asal dari nama Portugal, juga ia termasuk dalam UNESCO World Heritage Site. Posisi Penting Porto dalam perdagangan tidak saja dimulai dari perannya dalam menghubungkan Douro Valley, area yang memproduksi wine terkenal ini dengan negara lain seperti Ingris, tapi jauh ke jaman Pre-Roman, the Celtic times. Tong – tong wine ini kabarnya dibawa dengan menggunakan rabelos, atau semacam gantola, menyusuri Duoro river untuk dibawa ke Vila Nova, rumah produksi terbesar di Cais de Gaia, area disebrang sungai dari arah Cais de Ribeia, sebelum akhirnya dipasarkan keseluruh dunia.

Just landing in Porto Airport
Aku ingat, ketika akan mendarat waktu itu, aku melihat dari udara bagaimana hijau dan suburnya tanah Porto, bersinar dibawah langit biru cerah. Pun sepertinya aku melihat hamparan sawah dan kebun jagung dibawah sana, entahlah. Menjadi semakin takjub dan bersyukur aku, ketika menyadari bahwa pemandangan seperti yang sedang kulihat saat itu ada ketika eropa sedang dilanda cuaca musim dingin terekstrim dipenghujung desember, dan ditambah kenyataan hanya beberapa jam lalu aku masih berjalan dibawah badai salju di Stockholm. Porto hingga saat ini terkenal karena independensinya, tidak saja dari sisi ekonomi, tapi juga dari sisi military, dibuktikan dengan catatan sejarah sebagai kota yang tidak pernah dikuasai baik oleh orang – orang Roma, Napoleon atau khalifah Islam dari selatan, sehingga disebut juga sebagai the Cidade Invicta atau Invincible City. Menjadi semakin menarik bagiku, ketika mengetahui, dikota ini jugalah, JK. Rowling duduk disalah satu toko kopinya, memulai menulis buku pertamanya, Harry Potter, saat ia masih mengajar sebagai guru bahasa Inggris di Porto.

Penerbangan ke porto yang menurut jadwal adalah pukul 09.00 – 09.30, sebenarnya ditempuh dalam 1 jam 30 menit karena Portugal memakai zona waktu berbeda dari Spanyol (selisih 1 jam). Waktu itu kami bersama – sama juga dengan rombongan backpacker yang begitu ramai selama perjalanan, sepertinya dari Prancis. Setibanya di Francisco Sá Carneiro Aeropurto, kami dengan cepat mencari akses menuju stasiun metro, karena seperti di Madrid, kami hanya punya satu hari dikota ini, mengejar kereta ke Lisbon malam hari nya. Cukup kebingungan, sebelum akhirnya ibu – ibu tua yang walaupun tak bisa berbahasa inggris tetap dengan ramah berusaha menjelaskan pada kami dalam bahasa Portugal plus isyarat tangan, memberi informasi bahwa stasiun metro ada dibagian dalam bandara. Akhirnya kami kembali lagi ke pintu tempat kami pertama kali masuk, membeli tiket metro line E dari bandara ke pusat kota seharga 1,53 euro.


Dari atas ke bawah:
1. Kereta Metro porto
2. Metro station di bandara

Sweet Coincidence
Kami turun di stasiun metro Casa da Musica. Tapi tujuan sightseeing pertama kali hari itu bukanlah Casa da Musica, gedung Opera theather-nya kota Porto yang memang arsitekturnya sangat unik, tapi menuju bundaran Rotunda da Boavista atau Praça de Mouzinho de Albuquerque. Nama bundaran terbesar di Porto ini diambil dari nama seorang pahlawan Portugal, Joaquim Augusto Mouzinho de Albuquerque dan ditangah bundaran itu dibangun monumen raksasa, Monumento aos Heróis da Guerra Peninsularyang dibangun untuk mengingat momen kemenangan Portugal dari penjajahan Perancis saat perang peninsular di abad ke 18.

Monumento aos Heróis da Guerra Peninsular
Puas mengabadikan momen disekitar taman dan bundaran, tanpa peta ditangan, kecuali peta digital seadanya di blackberry Indra, kami berjalan menuju jalan Rua da Boavista. Hari beranjak siang saat itu, dengan perut masih kosong semenjak pagi tadi ditambah bawaan 6-8 kg di punggung yang membuat perut lapar, akhirnya kami berputar – putar tak jelas sambil mencari supermarket atau café yang menjual makanan murah. Lama berjalan, belum juga menemukan tempat makan yang cocok, ada yang mahal-lah, tampaknya porsi nya kurang banyak-lah, dan lah lah yang lain, akhirnya kami tiba di taman yang aku lupa namanya. Duduk menunggu teman – teman yang mengabadikan angle yang menurutku tidak terlalu menarik dan ditengah hujan rintik – rintik, aku menghampiri pria yang tengah berjalan cepat didepanku, yang sepertinya sedang terburu – buru untuk makan siang sebelum kembali kekantor. Aku bertanya, bagaimana cara menuju Mercado de Bolhao, pasar tradisional yang katanya berada di downtown Porto. Kupikir saat itu, berada di downtown dan bergabung dengan keramaian masyarakat lokal tentu lebih menarik dibanding mengabadikan taman yang bahkan kita tidak tau namanya ini.

Si bapak dengan bahasa inggris yang sangat bagus dan ramah menjelaskan padaku untuk ke pasar itu bisa dengan jalan kaki atau naik bus dari depan taman ini. Tapi ia merekomendasikan kami untuk naik bus saja, karena cukup jauh dan saat itu sudah hujan.  Akhirnya aku mengajak kawan – kawan yang sebenarnya sudah mulai boring untuk langsung saja ke downtown, “Dari pada poto – poto ga jelas gini, udah hujan juga, sekalian kita cari makan, gw udah lapar berat nih!”, begitu argumenku pada mereka. Akhirnya kami menunggu bus juga di halte di depan taman itu, dan sedikit bingung bagaimana cara membeli tiket bus. Dan lagi, seorang pria yang sedang berdiri didekatku yang tampaknya melihat kami kebingungan mengatakan, walaupun tidak punya tiket terusan, kami bisa membeli tiket di dalam bus langsung ke driver-nya, ketika akan naik nanti.

Kami turun di perhentian terakhir bus, yang menurut driver bus nya adalah area Balhao. Kebingungan dibagian mana pasar tradisional yang dimaksud, akhirnya kami berjalan lurus saja dan Ibnu berkata, bagaimana kalau kita prioritaskan menjadi stasiun dulu sambil mencari makan, baru kemudian melanjutkan jalan – jalan melihat sightseeing yang lain. Sepertinya Ibnu pun sudah tidak mood berputar – putar tak jelas, dan Indra yang memegang peta di blackberrynya juga tidak punya informasi di area mana kami sekarang berada atau mau kemana lagi dari area itu.

Kebingungan, letih, bad mood, ada yang mengusulkan untuk untuk menyebrang dulu, ada yang ingin belok kiri, ada yang mau ke kanan, dll dan ketika berdebat “kenapa ga dari tadi kita makan siang waktu masih ketemu café!!”, seorang ibu paruh baya yang sedang berdiri dengan pria yang sepertinya sepantaran denganku, yang juga sedang menunggu lampu merah bersama kami, tampak kaget dan berkata, “Hei, kalian orang Indonesia?

Sontak kami semua menolah kekiri, ke asal suara itu datang dan berkata serentak, “Iya..lha ibu juga dari  Indonesia?”

Jalanan sepi kota Porto
Ibu berkata, “Iya saya orang Indonesia. Ini anak saya”, dan kami berkenalan satu per satu dengan beliau dan anak laki – lakinya yang tampak berwajah indo.“Kalian mau kemana?”, tanya beliau lagi dan lampu masih merah ketika kami berkenalan itu.

Dan dengan cepat Ibnu menjawab, “Kami sedang mencari stasiun bu, mau ke Lisbon, udah nyasar dari tadi, ga punya peta.”

Ibu Isti: “Oalah, itu stasiun didepan sana, tinggal nyebrang, nanti gedungnya ada di sebelah kiri. Nama stasiunnya Sao Bento. Kalian dari mana?”

Kami: “Kami mahasiswa sedang kuliah di swedia bu, ini lagi libur dan hari ini tiba di Porto dari Madrid, dan malam ini kami mau ke Lisbon.

Ibu Isti: “Aha..okey, kalian sudah makan?”

Kami *kaget: “ini dari tadi lagi nyari tempat makan bu, cuma belum ketemu yang oke, jadi nyari stasiun dulu :>”

Ibu Isti: “Wah kebetulan sekali saya dan anak saya mau makan siang, ayo ikut kita aja, itu ada tempat makan enak langganan saya.”

Kami yang saling melirik dengan pandangan saling tanya satu sama lain, masih ragu – ragu dengan tempat makan enak yang ditawarkan Ibu Isti karena tidak tau standar harga dan khawatir dengan budget kami yang terbatas.

Ibu Isti sepertinya membaca apa yang ada dipikiran 4 tampang mahasiswa kere yang sedang membawa ransel besar – besar itu lalu berkata, “Ayoo, ga apa – apa, saya yang traktir, tapi harus dihabiskan ya, karena makanannya di timbang.

Dalam hati aku berpikir, “Huaaa…what a such coinsidently!!” dan Ibnu berkata, “kalau masalah dihabiskan, tak perlu khawatir bu!” dan sontak kami semua tertawa mendengar itu sambil berjalan cepat bersama beliau menuju restoran kecil tak jauh dari perempatan tempat kami tadi berdiri.

Lebih dari 2 jam lamanya kami duduk makan siang dan bercerita dengan ibu Isti. Baik kami dan sepertinya beliau tampak begitu senang bertemu sesama orang Indonesia di kota ini. Dan memang benar, menurut Ibu Isti tidak banyak orang asli Indonesia di Porto, atau dengan kata lain hanya beliau dan 2 anak laki – laki nya. Menurut Ibu Isti, mahasiswa Indonesia di Portugal pun hanya 2 orang, dan itupun bukan di Porto atau Lisbon, tapi di kota di utara yang aku lupa namanya. Dari perbincangan itu juga aku mengetahui bahwa Ibu Isti bukan orang biasa, beliau yang sudah lebih 20 tahun tinggal di Porto adalah istri konsul kehormatan Indonesia untuk Portugal, dan hanya satu – satunya konsul kehormatan Indonesia di Portugal, karena perwakilan Indonesia lain ada di Lisbon, yaitu duta besar Indonesia di KBRI Lisbon sendiri.

Salah satu sudut kota Porto
Kami berdiskusi banyak dengan ibu Isti di siang hari menjelang sore itu, tentang dinamika ex orang – orang Indonesia (timor) di Portugal; tentang kebiasaan dan budaya masyarakat Portugal yang ulet dan telaten, menjunjung tinggi budaya dan keluarga, tentang bagaimana subur dan pentingnya bagian utara Portugal tapi tidak begitu maju dibanding kota – kota bagian selatan Portugal (kelak baru kuketahui, ternyata Porto adalah rival utama perekonomian Lisbon); tentang mengapa di Portugal dan banyak kota – kota di eropa selatan tidak begitu banyak mall yang ternyata karena masyarakat cenderung untuk mengikuti kebiasaan nenek moyang nya dari zaman dulu bahwa berbelanja itu adalah berjalan atau window shopping di depan toko yang  berjejeran di pinggir jalan, bergabung dengan keramaian kota; tentang bagaimana kayanya Porto dengan arsitektur dan bangunan kuno bersejarah yang sebagian besarnya terancam runtuh karena pemiliknya tidak ada dana untuk renovasi dan pemeliharaan padahal kota ini adalah bagian dari world heritage UNESCO, tentang bagaimana orang – orang Portugal begitu menyukai memakan makanan fresh dan tradisional sehingga makanan cepat saji dari amerika macam burger king atau mcdonald tidak ada di Porto atau jarang di kota – kota Portugal, dll.

Begitu banyak dan hanyutnya kami berdiskusi waktu itu, hingga rasanya sudah demikian lama aku mengenal Ibu Isti, padahal kami baru bertemu beberapa jam lalu, di persimpangan kecil, pertemuan dengan orang Indonesia yang sangat penting di Portugal dan satu – satunya dikota itu, ketika kami kebingunan arah di tengah kota di utara Portugal. Kemungkinan yang jika kupikirkan hanya ada dalam kuasa Yang Diatas. Kejadian tak terduga ini yang memutar persepsiku tentang Porto, dari kota kecil tak penting, yang hanya kulewati untuk melanjutkan perjalanan ke Lisbon (karena tiket murah Ryan Air dari Madrid ke Porto), menjadi bagian kenangan indah dari perjalanan panjang itu.

Undangan tak terduga
Tak terasa waktu beranjak sore ketika kami masih asik berdiskusi, hingga Ibu Isti berkata “Nanti klo mau ke Porto, jangan lupa ketempat saya ya, kantor kita tidak jauh dari sini, dan rumah saya beberapa blok setelahnya. Ayo mampir dulu, nanti coba kita carikan peta, toh stasiun ga jauh dari sini, tinggal lurus didepan.

Di Kantor konsulat
Dan kamipun keluar dari restoran itu, bersama beliau menuju kantor konsulat yang hanya sejarak berjalan kaki. Sesampai di kantor, Ibu Isti mengajak kami masuk, dan beliau mengenalkan kami dengan Sophia, staf beliau yang kemudian menjadi repot mencarikan kami peta yang ternyata tidak ada di kantor. Sophia, gadis Portugal yang tampaknya sebaya denganku dan sedang mempelajari bahasa Indonesia itu tersenyum ramah dan menyapa kami dengan “halo, apa kabar?” yang kami jawab dengan setengah tertawa, “kabar baik.

Sophia pamit lalu kembali dengan berlembar – lembar kertas print berwarna berisi peta Porto berikut keterangan sightseeing penting. Kami bertanya dari sekian banyak sightseeing itu, apa yang menjadi rekomendasinya jika kami hanya punya waktu hingga pukul 7 ini di kota, dan Sophia berkata, “It’s going dark now, I recommend you to directly go to the city centre, Baixa, where you can see the famous buildings in the city; then go straight to the station Sao Paolo where you can buy your train ticket there, then go to the Se, the Cathedral; and then cross the river from the Ponte Luis bridge, from there you will arrive in the Gaia; then go back to the station again.

Waktu itu Ibu Isti meminta kami untuk mengisi buku tamu beliau, yang ternyata setelah kulihat halaman – halaman sebelumnya diisi oleh orang – orang penting, macam AM Fatwa, dll. Memikirkan membubuhkan tanda tangan di buku yang sama yang sudah ditandatanangi oleh orang – orang penting Indonesia berikut keterangan jabatannya saat itu, membuat kami dengan setengah bercanda pada bu Isti,

My signature and AM Fatwa signature
Bu, klo dibawah nama kami kosongkan boleh ga bu, nanti kami kembali kesini lagi, baru kami isi dengan jabatan masing - masing, misal Ibnu, mentri perhubungan RI, Adek, mentri kominfo, dll” *Ibnu adalah pagawai departemen perhubungan yang sedang tugas belajar di swedia*

Ibu Isti tertawa mendengar guyonan kami itu dan berkata, “Amin, tapi yang sekarang mungkin bisa diisi saja mahasiswa Indonesia di swedia, nti klo datang kan ngisinya di halaman baru, jadi kelihatan bedanya ntar…haha”

Sophia datang lagi keruangan dan bertanya pada kami, “So you all will go to Lisbon tonight? Would you join to the dinner in the embassy?

Ibu Isti bertanya: “What dinner Sophia?”

Sophia: “The dinner with the surfer that was told by ambassador, you will come?”

Ibu Isti: “ah, the surfers, they already go back? I forget about that..so the dinner is tomorrow?”, lalu Ibu Isti berkata pada kami, “Jadi besok kebetulan banget ada dinner di embassy. Kemaren ada club surfer di Portugal baru pulang dari Indonesia, mereka surfing di Sumatra, itu di mentawai, nah embassy dan saya kebetulan sponsornya. Kalian kalau mau datang aja, masih di Lisbon kan besok malam? Saya kayaknya ga bisa datang, nanti diwakilkan Sophia saja. Coba saya telpon pak duta besar dulu, supaya nanti disiapkan piring tambahan buat 4 orang mahasiswa swedia..haha”

Kami yang masih terbengong – bengong dengan tawaran yang tidak disangka – sangka ini saling pandang satu sama lain sambil berkata,  “Wah kebetulan banget bu, tapi kami besok malam sudah harus ke Seville, rencana naik bus dari Lisbon. Makan malamnya jam berapa bu?

Ibu Isti: “Ya kira – kira jam 6 an ya..dinner nya di rumah duta besar, dan nanti dari rumah duta besar saja langsung ke terminal, ga jauh kok rumahnya dari pusat kota. Nanti kontak Sophia klo sudah di Lisbon. Sophia can you give them the address? Sebentar ya, saya telpon ambassador dulu.” Dan ibu Isti lalu berbicara di telpon dengan bapak duta besar, mengabarkan bahwa besok beliau tidak bisa datang dan diwakilkan oleh Sophia, dan juga ada kejutan tak terduga hari ini bahwa ada 4 mahasiswa Indonesia dari swedia sedang bersama beliau di Porto saat ini, dan akan ke Lisbon malam ini hingga besok, dan sekaligus beliau dengan setengah bercanda bertanya pada bapak duta besar, apakah masih ada 4 piring lebih untuk kami bergabung makan malam besok malam. 

Discovering undiscovered European metropolis
Pacos do Concelho
Karena hari yang kian beranjak sore, kami pun berpamitan dengan Ibu Isti dan Sophia sambil bertukaran nomor handphone dengan Sohpia untuk komunikasi di Lisbon nanti. Berbekal peta yang diberikan Sophia tadi, kami mengikuti sarannya untuk langsung ke Baixa.  Area ini adalah pusat kotanya Porto, dimana hampir semua jalan utama dan transportasi di kota pasti akan menuju dan berangkat dari area ini. Tiba dari jalan de Fernende Tomas, kami langsung menuju jalan utama da Trindade dan disuguhi sightseeing pertama kali, gereje da Trindade yang dibangun diawal abad ke 19. Sempat berfoto – foto di depan gereja, kamipun melangkah ke area utama, city town Hall atau Pacos do Concelho, bangunan besar yang tampak lebih seperti aristektur istana raja bagiku. Kami terus berjalan kearah selatan taman besar itu, menuju Avenida dos Aliados dimana kami melewati monumen Almeida Garrett, seorang penulis penting Portugal diawal abad ke 19. Diujung selatan taman ini atau disebut juga Liberdade Square (Praça da Liberdade) yang lebih tua karena dibangun sejak abad ke 19, bisa kita temui monumen salah satu raja Portugal, Pedro / Peter IV lengkap dengan kudanya. Kabarnya setiap minggu pagi, orang – orang akan ramai berkumpul, karena ada Mercado de Flores, atau pasar bunga di area ini.

Puas berfoto dan menikmati pemandangan arsitektur tua itu, kami terus berjalan kearah Almeida Garret Square menuju stasiun São Bento (Estação de São Bento). Stasiun ini menjadi penting tidak saja sebagai titik penguhubung kota Porto dengan jaringan kereta Portugal, tapi juga karena arsitektur internal gedungnya yang dipenuhi hiasan keramik di dinding, atau dalam bahasa Portugis disebut juga dengan Azulejo. Menurut yang kubaca, ada 20 ribu marmer yang dipasang dari tahun 1905 hingga 1916, hasil karya seniman Azulejo terkenal Portugal, Jorge Colaço yang bercerita tentang kisah – kisah bersejarah Portugal. kami sempat sejenak mengabadikan momen di dalam stasiun ini, walaupun saat itu begitu ramai di aula utama, dan di sisi selatan sedang ada renovasi pemugaran azulejo.

Penjual gulali dan popcorn didalam stasiun
Setelah selesai membeli tiket seharga 20 euro ke Lisbon dengan kereta malam, kami langsung melangkah menuju sungai Duoro, kearah Sé do Porto atau katedral yang dibangun dari abad ke 12 dan merupakan bangunan tertua di Kota Porto. Menurut beberapa catatan, bagian – bagian dalam dari katedral bergaya Gothic ini sudah dibangun sejak abad ke 5, dan juga menjadi tempat pembabtisan pangeran Henry the Navigator yang terkenal juga sebagai tempat pernikahan raja John I dengan putri Inggris, Philippa of Lancaster. Gereja dan juga area benteng yang mengitarinya (Torre de Cidade) ini dibangun diatas bukit batu (Ventosa Hill), diarea yang disebut juga dengan Bairro da . Ketika tiba disisi tertinggi di sekitar katedral itu, berdiri di dekat monumen Terreiro da , aku bisa melihat sungai besar Duora yang tepat berada di sampingnya, juga jembatan Ponte Luis yang terkenal dan gereja Serra do Pilar yang bersinar dari kejauhan, sambil membayangkan masa – masa ketika bangunan itu digunakan dijaman raja – raja kuno. Sayang, bayangan itu buyar ketika mendengar dan melihat sepasang muda mudi yang sedang asik bercipokan di dekat pintu chapel utama katedral *cape deeh..

Karena berburu dengan waktu, kami tidak menyia – nyiakan momen dan langsung melangkah menuju jembatan Ponte Luis untuk melihat sungai lebih dekat. Jembatan dari besi ini dibangun diakhir abad ke 18, mengikuti aliran arsitek Gustave Eiffel, terdiri dari 2 tingkat, dimana bagian bawah digunakan untuk lalu lintas mobil, dan bagian atas hanya untuk metro subway Porto. Menurut cerita ibu Isti justru sebagian besar jalur metro ini tidak di subway (bawah tanah), karena kerasnya batuan di bawah kota Porto. Mengabadikan momen ditengah jembatan menjadi mengasyikan karena juga harus berhati – hati dan mawas dengan kereta yang setiap saat bisa lewat melintas. Puas melihat – lihat pemandangan kota Porto dari arah sungai Douro, kami bergegas kembali ke stasiun Sao Bento. Aku dan Ibnu menyempatkan sesaat membeli gantungan hiasan kulkas yang kuniatkan akan selalu kukumpulkan disetiap kota yang akan kami lalui nanti.

Sé do Porto

Adeus!
Sesampainya di stasiun Sao Bento dan selang tak lama menunggu, kereta yang kami nanti datang juga. Sebenarnya kami tidak akan menggunakan kereta ini untuk ke Lisbon nanti, namun hanya sebagai kereta transit ke stasiun berikutnya, stasiun Campanha, tempat kami mengambil kereta ke Lisbon. Di stasiun itu, sempat pusing mencari papan petunjuk karena segala sesuatunya dituliskan dengan bahasa Portugal. Aku mencoba bertanya pada seorang gadis berwajah asia yang duduk di dekat kami, yang menjelaskan dengan tidak begitu jelas dengan bahasa inggris yang terbata – bata.

Dengan sedikit kecewa sambil berpikir “harus mencari orang lain untuk ditanya”, tiba – tiba Eric menyapa gadis itu dengan bahasa Jepang, dan si gadis yang tampaknya cukup kaget disapa dengan bahasa jepang menjawab lancar dan eric dan gadis itupun lalu bercakap – cakap sedikit lebih lama sambil Eric pun menanyakan pertanyaan yang tadi kutanyakan dalam bahasa jepang. Dengan lancar ia menjelaskan arah yang ia maksud tadi pada Eric, dan kamipun tau bahwa kereta yang kami cari ada di peron nomor berapa dan keterangan kedatangan kereta bisa dilihat didalam stasiun. Ketika kami melangkah pergi dan menyampaikan terimakasih pada gadis itu, dan akupun bertanya pada Eric bagaimana ia bisa tau kalau gadis itu orang jepang, dan ia berkata “dari kata ‘oo’ yang dia bilang tadi, aku dengar sekilas, dan biasanya itu aksen jepang, langsung saja aku tanya ‘orang jepang ya?’” Eric memang sangat lancar berbahasa jepang dan sudah pernah tinggal di Tokyo hampir 4 tahun sebelum ia berangkat ke Swedia.

Menunggu di stasiun dan sempat melihat – melihat area sekitar, sambil membeli makan malam, Aku, Eric, Ibnu dan Indra mengakhiri perjalanan kami di Porto, bersiap menuju kota selanjutnya dalam perjalanan kami, kota ketiga, Lisbon.


Al - Kahfi
Stockholm, January 17, 2011

Foto - foto lain di Porto: