Menyusuri O Porto, the City of Bridges


-Catatan Backpacking Winter Escape 2010, Kota kedua, Hari ketiga-

Day 3 backpacking winter escape:
kelaperan nyari tempat makan siang murmer dan nyasar di downtown Porto,
small city in north portugal where JK.Rowling started writing HP,
tiba2 ketemu ibu Isti, istri konsul portugal untuk indonesia,
diajak makan siang plus undangan ketemu dubes di lisbon.
Nice city, nice journey, what a nice life!!
My facebook status, December 22, 2010 at 2:04am via Mobile Web


A flight to the unknown beautiful city
Pagi hari, selasa tanggal 21 desember itu aku bergegas bangun, shalat, mandi seadanya lalu packing. Kami harus berangkat ke bandara segera, mengejar penerbangan ke kota kedua dalam perjalanan kami, ke Porto, Portugal. Berbeda dengan kondsi metro yang tampak sepi kearah pusat kota di waktu yang sama tempo hari, saat ini metro kearah bandara di utara kota Madrid begitu ramai dengan hilir mudik orang – orang yang terburu – buru. Sepertinya, area perkantoran umum di Madrid memang bukan di pusat kota, tapi sedikit ke utara, sejalan dengan rute kami menuju bandara.

Kami tiba di bandara Madrid – Barajas sekitar pukul 8 pagi, dan langsung menuju counter check in. Agak sedikit kebingungan, kami beberapa kali pindah jalur antrian di counter Ryan air ini karena penjaga counter yang tidak ramah dan pun tidak bisa berbahasa inggris, padahal melayani rute penerbangan international *cape deh*. Indra, rekan dari Stockholm yang mampir ke Paris lebih dulu, karena tidak ada lagi penerbangan murah Stockholm - Madrid,  sudah tiba di bandara Barajas malam sebelumnya dan juga menginap di bandara. Menurut rencana kami akan bertemu di gate Ryan air lalu bersama – sama melanjutkan perjalanan ke Porto.

The city of the famous wine
Porto atau Oporto adalah kota kedua terbesar Portugal setelah Lisbon, dibelah oleh sungai Duora, salah satu sungai terbesar di Iberian Peninsula. Kota ini disebut juga sebagai Cidade das Pontes atau City of Bridges dan Capital do Norte atau The Capital of the North, terletak diantara kota – kota kecil di utara Portugal. Tapi kelak baru kuketahui, justru di kota – kota kecil di utara inilah perekonomian Portugal sebenarnya berjalan, menjadi rival utama perekonomia Lisbon, terutama hasil pertanian dan perkebunannya. Menurut informasi Ibu Isti, istri konsul kehormatan Indonesia di Porto yang kelak bertemu dengan kami, daerah - daerah di utara ini, terutama Porto, adalah sumber para investor utama dan orang – orang kaya Portugal. Jadi, tidak seperti Jakarta tempat roda perekonomian berputar, kota besar macam Lisbon secara sederhananya digunakan untuk occasional, “berfoya – foya” atau untuk pertemuan bisnis, namun aktivitas produksi utama sebenarnya ada dikota – kota utara ini.

Porto, tanpa aku dan orang – orang awam lain sadari sebenarnya adalah kota yang begitu terkenal, sebut saja salah satu wine paling terkenal didunia, Port wine yang berasal dari area ini, dan menurut catatan adalah salah satu pusat peradapan tertua di eropa, berdiri sejak zaman romawi kuno dengan nama latin Portus Cale yang merupakan asal dari nama Portugal, juga ia termasuk dalam UNESCO World Heritage Site. Posisi Penting Porto dalam perdagangan tidak saja dimulai dari perannya dalam menghubungkan Douro Valley, area yang memproduksi wine terkenal ini dengan negara lain seperti Ingris, tapi jauh ke jaman Pre-Roman, the Celtic times. Tong – tong wine ini kabarnya dibawa dengan menggunakan rabelos, atau semacam gantola, menyusuri Duoro river untuk dibawa ke Vila Nova, rumah produksi terbesar di Cais de Gaia, area disebrang sungai dari arah Cais de Ribeia, sebelum akhirnya dipasarkan keseluruh dunia.

Just landing in Porto Airport
Aku ingat, ketika akan mendarat waktu itu, aku melihat dari udara bagaimana hijau dan suburnya tanah Porto, bersinar dibawah langit biru cerah. Pun sepertinya aku melihat hamparan sawah dan kebun jagung dibawah sana, entahlah. Menjadi semakin takjub dan bersyukur aku, ketika menyadari bahwa pemandangan seperti yang sedang kulihat saat itu ada ketika eropa sedang dilanda cuaca musim dingin terekstrim dipenghujung desember, dan ditambah kenyataan hanya beberapa jam lalu aku masih berjalan dibawah badai salju di Stockholm. Porto hingga saat ini terkenal karena independensinya, tidak saja dari sisi ekonomi, tapi juga dari sisi military, dibuktikan dengan catatan sejarah sebagai kota yang tidak pernah dikuasai baik oleh orang – orang Roma, Napoleon atau khalifah Islam dari selatan, sehingga disebut juga sebagai the Cidade Invicta atau Invincible City. Menjadi semakin menarik bagiku, ketika mengetahui, dikota ini jugalah, JK. Rowling duduk disalah satu toko kopinya, memulai menulis buku pertamanya, Harry Potter, saat ia masih mengajar sebagai guru bahasa Inggris di Porto.

Penerbangan ke porto yang menurut jadwal adalah pukul 09.00 – 09.30, sebenarnya ditempuh dalam 1 jam 30 menit karena Portugal memakai zona waktu berbeda dari Spanyol (selisih 1 jam). Waktu itu kami bersama – sama juga dengan rombongan backpacker yang begitu ramai selama perjalanan, sepertinya dari Prancis. Setibanya di Francisco Sá Carneiro Aeropurto, kami dengan cepat mencari akses menuju stasiun metro, karena seperti di Madrid, kami hanya punya satu hari dikota ini, mengejar kereta ke Lisbon malam hari nya. Cukup kebingungan, sebelum akhirnya ibu – ibu tua yang walaupun tak bisa berbahasa inggris tetap dengan ramah berusaha menjelaskan pada kami dalam bahasa Portugal plus isyarat tangan, memberi informasi bahwa stasiun metro ada dibagian dalam bandara. Akhirnya kami kembali lagi ke pintu tempat kami pertama kali masuk, membeli tiket metro line E dari bandara ke pusat kota seharga 1,53 euro.


Dari atas ke bawah:
1. Kereta Metro porto
2. Metro station di bandara

Sweet Coincidence
Kami turun di stasiun metro Casa da Musica. Tapi tujuan sightseeing pertama kali hari itu bukanlah Casa da Musica, gedung Opera theather-nya kota Porto yang memang arsitekturnya sangat unik, tapi menuju bundaran Rotunda da Boavista atau Praça de Mouzinho de Albuquerque. Nama bundaran terbesar di Porto ini diambil dari nama seorang pahlawan Portugal, Joaquim Augusto Mouzinho de Albuquerque dan ditangah bundaran itu dibangun monumen raksasa, Monumento aos Heróis da Guerra Peninsularyang dibangun untuk mengingat momen kemenangan Portugal dari penjajahan Perancis saat perang peninsular di abad ke 18.

Monumento aos Heróis da Guerra Peninsular
Puas mengabadikan momen disekitar taman dan bundaran, tanpa peta ditangan, kecuali peta digital seadanya di blackberry Indra, kami berjalan menuju jalan Rua da Boavista. Hari beranjak siang saat itu, dengan perut masih kosong semenjak pagi tadi ditambah bawaan 6-8 kg di punggung yang membuat perut lapar, akhirnya kami berputar – putar tak jelas sambil mencari supermarket atau café yang menjual makanan murah. Lama berjalan, belum juga menemukan tempat makan yang cocok, ada yang mahal-lah, tampaknya porsi nya kurang banyak-lah, dan lah lah yang lain, akhirnya kami tiba di taman yang aku lupa namanya. Duduk menunggu teman – teman yang mengabadikan angle yang menurutku tidak terlalu menarik dan ditengah hujan rintik – rintik, aku menghampiri pria yang tengah berjalan cepat didepanku, yang sepertinya sedang terburu – buru untuk makan siang sebelum kembali kekantor. Aku bertanya, bagaimana cara menuju Mercado de Bolhao, pasar tradisional yang katanya berada di downtown Porto. Kupikir saat itu, berada di downtown dan bergabung dengan keramaian masyarakat lokal tentu lebih menarik dibanding mengabadikan taman yang bahkan kita tidak tau namanya ini.

Si bapak dengan bahasa inggris yang sangat bagus dan ramah menjelaskan padaku untuk ke pasar itu bisa dengan jalan kaki atau naik bus dari depan taman ini. Tapi ia merekomendasikan kami untuk naik bus saja, karena cukup jauh dan saat itu sudah hujan.  Akhirnya aku mengajak kawan – kawan yang sebenarnya sudah mulai boring untuk langsung saja ke downtown, “Dari pada poto – poto ga jelas gini, udah hujan juga, sekalian kita cari makan, gw udah lapar berat nih!”, begitu argumenku pada mereka. Akhirnya kami menunggu bus juga di halte di depan taman itu, dan sedikit bingung bagaimana cara membeli tiket bus. Dan lagi, seorang pria yang sedang berdiri didekatku yang tampaknya melihat kami kebingungan mengatakan, walaupun tidak punya tiket terusan, kami bisa membeli tiket di dalam bus langsung ke driver-nya, ketika akan naik nanti.

Kami turun di perhentian terakhir bus, yang menurut driver bus nya adalah area Balhao. Kebingungan dibagian mana pasar tradisional yang dimaksud, akhirnya kami berjalan lurus saja dan Ibnu berkata, bagaimana kalau kita prioritaskan menjadi stasiun dulu sambil mencari makan, baru kemudian melanjutkan jalan – jalan melihat sightseeing yang lain. Sepertinya Ibnu pun sudah tidak mood berputar – putar tak jelas, dan Indra yang memegang peta di blackberrynya juga tidak punya informasi di area mana kami sekarang berada atau mau kemana lagi dari area itu.

Kebingungan, letih, bad mood, ada yang mengusulkan untuk untuk menyebrang dulu, ada yang ingin belok kiri, ada yang mau ke kanan, dll dan ketika berdebat “kenapa ga dari tadi kita makan siang waktu masih ketemu café!!”, seorang ibu paruh baya yang sedang berdiri dengan pria yang sepertinya sepantaran denganku, yang juga sedang menunggu lampu merah bersama kami, tampak kaget dan berkata, “Hei, kalian orang Indonesia?

Sontak kami semua menolah kekiri, ke asal suara itu datang dan berkata serentak, “Iya..lha ibu juga dari  Indonesia?”

Jalanan sepi kota Porto
Ibu berkata, “Iya saya orang Indonesia. Ini anak saya”, dan kami berkenalan satu per satu dengan beliau dan anak laki – lakinya yang tampak berwajah indo.“Kalian mau kemana?”, tanya beliau lagi dan lampu masih merah ketika kami berkenalan itu.

Dan dengan cepat Ibnu menjawab, “Kami sedang mencari stasiun bu, mau ke Lisbon, udah nyasar dari tadi, ga punya peta.”

Ibu Isti: “Oalah, itu stasiun didepan sana, tinggal nyebrang, nanti gedungnya ada di sebelah kiri. Nama stasiunnya Sao Bento. Kalian dari mana?”

Kami: “Kami mahasiswa sedang kuliah di swedia bu, ini lagi libur dan hari ini tiba di Porto dari Madrid, dan malam ini kami mau ke Lisbon.

Ibu Isti: “Aha..okey, kalian sudah makan?”

Kami *kaget: “ini dari tadi lagi nyari tempat makan bu, cuma belum ketemu yang oke, jadi nyari stasiun dulu :>”

Ibu Isti: “Wah kebetulan sekali saya dan anak saya mau makan siang, ayo ikut kita aja, itu ada tempat makan enak langganan saya.”

Kami yang saling melirik dengan pandangan saling tanya satu sama lain, masih ragu – ragu dengan tempat makan enak yang ditawarkan Ibu Isti karena tidak tau standar harga dan khawatir dengan budget kami yang terbatas.

Ibu Isti sepertinya membaca apa yang ada dipikiran 4 tampang mahasiswa kere yang sedang membawa ransel besar – besar itu lalu berkata, “Ayoo, ga apa – apa, saya yang traktir, tapi harus dihabiskan ya, karena makanannya di timbang.

Dalam hati aku berpikir, “Huaaa…what a such coinsidently!!” dan Ibnu berkata, “kalau masalah dihabiskan, tak perlu khawatir bu!” dan sontak kami semua tertawa mendengar itu sambil berjalan cepat bersama beliau menuju restoran kecil tak jauh dari perempatan tempat kami tadi berdiri.

Lebih dari 2 jam lamanya kami duduk makan siang dan bercerita dengan ibu Isti. Baik kami dan sepertinya beliau tampak begitu senang bertemu sesama orang Indonesia di kota ini. Dan memang benar, menurut Ibu Isti tidak banyak orang asli Indonesia di Porto, atau dengan kata lain hanya beliau dan 2 anak laki – laki nya. Menurut Ibu Isti, mahasiswa Indonesia di Portugal pun hanya 2 orang, dan itupun bukan di Porto atau Lisbon, tapi di kota di utara yang aku lupa namanya. Dari perbincangan itu juga aku mengetahui bahwa Ibu Isti bukan orang biasa, beliau yang sudah lebih 20 tahun tinggal di Porto adalah istri konsul kehormatan Indonesia untuk Portugal, dan hanya satu – satunya konsul kehormatan Indonesia di Portugal, karena perwakilan Indonesia lain ada di Lisbon, yaitu duta besar Indonesia di KBRI Lisbon sendiri.

Salah satu sudut kota Porto
Kami berdiskusi banyak dengan ibu Isti di siang hari menjelang sore itu, tentang dinamika ex orang – orang Indonesia (timor) di Portugal; tentang kebiasaan dan budaya masyarakat Portugal yang ulet dan telaten, menjunjung tinggi budaya dan keluarga, tentang bagaimana subur dan pentingnya bagian utara Portugal tapi tidak begitu maju dibanding kota – kota bagian selatan Portugal (kelak baru kuketahui, ternyata Porto adalah rival utama perekonomian Lisbon); tentang mengapa di Portugal dan banyak kota – kota di eropa selatan tidak begitu banyak mall yang ternyata karena masyarakat cenderung untuk mengikuti kebiasaan nenek moyang nya dari zaman dulu bahwa berbelanja itu adalah berjalan atau window shopping di depan toko yang  berjejeran di pinggir jalan, bergabung dengan keramaian kota; tentang bagaimana kayanya Porto dengan arsitektur dan bangunan kuno bersejarah yang sebagian besarnya terancam runtuh karena pemiliknya tidak ada dana untuk renovasi dan pemeliharaan padahal kota ini adalah bagian dari world heritage UNESCO, tentang bagaimana orang – orang Portugal begitu menyukai memakan makanan fresh dan tradisional sehingga makanan cepat saji dari amerika macam burger king atau mcdonald tidak ada di Porto atau jarang di kota – kota Portugal, dll.

Begitu banyak dan hanyutnya kami berdiskusi waktu itu, hingga rasanya sudah demikian lama aku mengenal Ibu Isti, padahal kami baru bertemu beberapa jam lalu, di persimpangan kecil, pertemuan dengan orang Indonesia yang sangat penting di Portugal dan satu – satunya dikota itu, ketika kami kebingunan arah di tengah kota di utara Portugal. Kemungkinan yang jika kupikirkan hanya ada dalam kuasa Yang Diatas. Kejadian tak terduga ini yang memutar persepsiku tentang Porto, dari kota kecil tak penting, yang hanya kulewati untuk melanjutkan perjalanan ke Lisbon (karena tiket murah Ryan Air dari Madrid ke Porto), menjadi bagian kenangan indah dari perjalanan panjang itu.

Undangan tak terduga
Tak terasa waktu beranjak sore ketika kami masih asik berdiskusi, hingga Ibu Isti berkata “Nanti klo mau ke Porto, jangan lupa ketempat saya ya, kantor kita tidak jauh dari sini, dan rumah saya beberapa blok setelahnya. Ayo mampir dulu, nanti coba kita carikan peta, toh stasiun ga jauh dari sini, tinggal lurus didepan.

Di Kantor konsulat
Dan kamipun keluar dari restoran itu, bersama beliau menuju kantor konsulat yang hanya sejarak berjalan kaki. Sesampai di kantor, Ibu Isti mengajak kami masuk, dan beliau mengenalkan kami dengan Sophia, staf beliau yang kemudian menjadi repot mencarikan kami peta yang ternyata tidak ada di kantor. Sophia, gadis Portugal yang tampaknya sebaya denganku dan sedang mempelajari bahasa Indonesia itu tersenyum ramah dan menyapa kami dengan “halo, apa kabar?” yang kami jawab dengan setengah tertawa, “kabar baik.

Sophia pamit lalu kembali dengan berlembar – lembar kertas print berwarna berisi peta Porto berikut keterangan sightseeing penting. Kami bertanya dari sekian banyak sightseeing itu, apa yang menjadi rekomendasinya jika kami hanya punya waktu hingga pukul 7 ini di kota, dan Sophia berkata, “It’s going dark now, I recommend you to directly go to the city centre, Baixa, where you can see the famous buildings in the city; then go straight to the station Sao Paolo where you can buy your train ticket there, then go to the Se, the Cathedral; and then cross the river from the Ponte Luis bridge, from there you will arrive in the Gaia; then go back to the station again.

Waktu itu Ibu Isti meminta kami untuk mengisi buku tamu beliau, yang ternyata setelah kulihat halaman – halaman sebelumnya diisi oleh orang – orang penting, macam AM Fatwa, dll. Memikirkan membubuhkan tanda tangan di buku yang sama yang sudah ditandatanangi oleh orang – orang penting Indonesia berikut keterangan jabatannya saat itu, membuat kami dengan setengah bercanda pada bu Isti,

My signature and AM Fatwa signature
Bu, klo dibawah nama kami kosongkan boleh ga bu, nanti kami kembali kesini lagi, baru kami isi dengan jabatan masing - masing, misal Ibnu, mentri perhubungan RI, Adek, mentri kominfo, dll” *Ibnu adalah pagawai departemen perhubungan yang sedang tugas belajar di swedia*

Ibu Isti tertawa mendengar guyonan kami itu dan berkata, “Amin, tapi yang sekarang mungkin bisa diisi saja mahasiswa Indonesia di swedia, nti klo datang kan ngisinya di halaman baru, jadi kelihatan bedanya ntar…haha”

Sophia datang lagi keruangan dan bertanya pada kami, “So you all will go to Lisbon tonight? Would you join to the dinner in the embassy?

Ibu Isti bertanya: “What dinner Sophia?”

Sophia: “The dinner with the surfer that was told by ambassador, you will come?”

Ibu Isti: “ah, the surfers, they already go back? I forget about that..so the dinner is tomorrow?”, lalu Ibu Isti berkata pada kami, “Jadi besok kebetulan banget ada dinner di embassy. Kemaren ada club surfer di Portugal baru pulang dari Indonesia, mereka surfing di Sumatra, itu di mentawai, nah embassy dan saya kebetulan sponsornya. Kalian kalau mau datang aja, masih di Lisbon kan besok malam? Saya kayaknya ga bisa datang, nanti diwakilkan Sophia saja. Coba saya telpon pak duta besar dulu, supaya nanti disiapkan piring tambahan buat 4 orang mahasiswa swedia..haha”

Kami yang masih terbengong – bengong dengan tawaran yang tidak disangka – sangka ini saling pandang satu sama lain sambil berkata,  “Wah kebetulan banget bu, tapi kami besok malam sudah harus ke Seville, rencana naik bus dari Lisbon. Makan malamnya jam berapa bu?

Ibu Isti: “Ya kira – kira jam 6 an ya..dinner nya di rumah duta besar, dan nanti dari rumah duta besar saja langsung ke terminal, ga jauh kok rumahnya dari pusat kota. Nanti kontak Sophia klo sudah di Lisbon. Sophia can you give them the address? Sebentar ya, saya telpon ambassador dulu.” Dan ibu Isti lalu berbicara di telpon dengan bapak duta besar, mengabarkan bahwa besok beliau tidak bisa datang dan diwakilkan oleh Sophia, dan juga ada kejutan tak terduga hari ini bahwa ada 4 mahasiswa Indonesia dari swedia sedang bersama beliau di Porto saat ini, dan akan ke Lisbon malam ini hingga besok, dan sekaligus beliau dengan setengah bercanda bertanya pada bapak duta besar, apakah masih ada 4 piring lebih untuk kami bergabung makan malam besok malam. 

Discovering undiscovered European metropolis
Pacos do Concelho
Karena hari yang kian beranjak sore, kami pun berpamitan dengan Ibu Isti dan Sophia sambil bertukaran nomor handphone dengan Sohpia untuk komunikasi di Lisbon nanti. Berbekal peta yang diberikan Sophia tadi, kami mengikuti sarannya untuk langsung ke Baixa.  Area ini adalah pusat kotanya Porto, dimana hampir semua jalan utama dan transportasi di kota pasti akan menuju dan berangkat dari area ini. Tiba dari jalan de Fernende Tomas, kami langsung menuju jalan utama da Trindade dan disuguhi sightseeing pertama kali, gereje da Trindade yang dibangun diawal abad ke 19. Sempat berfoto – foto di depan gereja, kamipun melangkah ke area utama, city town Hall atau Pacos do Concelho, bangunan besar yang tampak lebih seperti aristektur istana raja bagiku. Kami terus berjalan kearah selatan taman besar itu, menuju Avenida dos Aliados dimana kami melewati monumen Almeida Garrett, seorang penulis penting Portugal diawal abad ke 19. Diujung selatan taman ini atau disebut juga Liberdade Square (Praça da Liberdade) yang lebih tua karena dibangun sejak abad ke 19, bisa kita temui monumen salah satu raja Portugal, Pedro / Peter IV lengkap dengan kudanya. Kabarnya setiap minggu pagi, orang – orang akan ramai berkumpul, karena ada Mercado de Flores, atau pasar bunga di area ini.

Puas berfoto dan menikmati pemandangan arsitektur tua itu, kami terus berjalan kearah Almeida Garret Square menuju stasiun São Bento (Estação de São Bento). Stasiun ini menjadi penting tidak saja sebagai titik penguhubung kota Porto dengan jaringan kereta Portugal, tapi juga karena arsitektur internal gedungnya yang dipenuhi hiasan keramik di dinding, atau dalam bahasa Portugis disebut juga dengan Azulejo. Menurut yang kubaca, ada 20 ribu marmer yang dipasang dari tahun 1905 hingga 1916, hasil karya seniman Azulejo terkenal Portugal, Jorge Colaço yang bercerita tentang kisah – kisah bersejarah Portugal. kami sempat sejenak mengabadikan momen di dalam stasiun ini, walaupun saat itu begitu ramai di aula utama, dan di sisi selatan sedang ada renovasi pemugaran azulejo.

Penjual gulali dan popcorn didalam stasiun
Setelah selesai membeli tiket seharga 20 euro ke Lisbon dengan kereta malam, kami langsung melangkah menuju sungai Duoro, kearah Sé do Porto atau katedral yang dibangun dari abad ke 12 dan merupakan bangunan tertua di Kota Porto. Menurut beberapa catatan, bagian – bagian dalam dari katedral bergaya Gothic ini sudah dibangun sejak abad ke 5, dan juga menjadi tempat pembabtisan pangeran Henry the Navigator yang terkenal juga sebagai tempat pernikahan raja John I dengan putri Inggris, Philippa of Lancaster. Gereja dan juga area benteng yang mengitarinya (Torre de Cidade) ini dibangun diatas bukit batu (Ventosa Hill), diarea yang disebut juga dengan Bairro da . Ketika tiba disisi tertinggi di sekitar katedral itu, berdiri di dekat monumen Terreiro da , aku bisa melihat sungai besar Duora yang tepat berada di sampingnya, juga jembatan Ponte Luis yang terkenal dan gereja Serra do Pilar yang bersinar dari kejauhan, sambil membayangkan masa – masa ketika bangunan itu digunakan dijaman raja – raja kuno. Sayang, bayangan itu buyar ketika mendengar dan melihat sepasang muda mudi yang sedang asik bercipokan di dekat pintu chapel utama katedral *cape deeh..

Karena berburu dengan waktu, kami tidak menyia – nyiakan momen dan langsung melangkah menuju jembatan Ponte Luis untuk melihat sungai lebih dekat. Jembatan dari besi ini dibangun diakhir abad ke 18, mengikuti aliran arsitek Gustave Eiffel, terdiri dari 2 tingkat, dimana bagian bawah digunakan untuk lalu lintas mobil, dan bagian atas hanya untuk metro subway Porto. Menurut cerita ibu Isti justru sebagian besar jalur metro ini tidak di subway (bawah tanah), karena kerasnya batuan di bawah kota Porto. Mengabadikan momen ditengah jembatan menjadi mengasyikan karena juga harus berhati – hati dan mawas dengan kereta yang setiap saat bisa lewat melintas. Puas melihat – lihat pemandangan kota Porto dari arah sungai Douro, kami bergegas kembali ke stasiun Sao Bento. Aku dan Ibnu menyempatkan sesaat membeli gantungan hiasan kulkas yang kuniatkan akan selalu kukumpulkan disetiap kota yang akan kami lalui nanti.

Sé do Porto

Adeus!
Sesampainya di stasiun Sao Bento dan selang tak lama menunggu, kereta yang kami nanti datang juga. Sebenarnya kami tidak akan menggunakan kereta ini untuk ke Lisbon nanti, namun hanya sebagai kereta transit ke stasiun berikutnya, stasiun Campanha, tempat kami mengambil kereta ke Lisbon. Di stasiun itu, sempat pusing mencari papan petunjuk karena segala sesuatunya dituliskan dengan bahasa Portugal. Aku mencoba bertanya pada seorang gadis berwajah asia yang duduk di dekat kami, yang menjelaskan dengan tidak begitu jelas dengan bahasa inggris yang terbata – bata.

Dengan sedikit kecewa sambil berpikir “harus mencari orang lain untuk ditanya”, tiba – tiba Eric menyapa gadis itu dengan bahasa Jepang, dan si gadis yang tampaknya cukup kaget disapa dengan bahasa jepang menjawab lancar dan eric dan gadis itupun lalu bercakap – cakap sedikit lebih lama sambil Eric pun menanyakan pertanyaan yang tadi kutanyakan dalam bahasa jepang. Dengan lancar ia menjelaskan arah yang ia maksud tadi pada Eric, dan kamipun tau bahwa kereta yang kami cari ada di peron nomor berapa dan keterangan kedatangan kereta bisa dilihat didalam stasiun. Ketika kami melangkah pergi dan menyampaikan terimakasih pada gadis itu, dan akupun bertanya pada Eric bagaimana ia bisa tau kalau gadis itu orang jepang, dan ia berkata “dari kata ‘oo’ yang dia bilang tadi, aku dengar sekilas, dan biasanya itu aksen jepang, langsung saja aku tanya ‘orang jepang ya?’” Eric memang sangat lancar berbahasa jepang dan sudah pernah tinggal di Tokyo hampir 4 tahun sebelum ia berangkat ke Swedia.

Menunggu di stasiun dan sempat melihat – melihat area sekitar, sambil membeli makan malam, Aku, Eric, Ibnu dan Indra mengakhiri perjalanan kami di Porto, bersiap menuju kota selanjutnya dalam perjalanan kami, kota ketiga, Lisbon.


Al - Kahfi
Stockholm, January 17, 2011

Foto - foto lain di Porto: